Lanjutan dari posting sebelumnya.. Tahap persalinan aktif ini adalah saat mulut rahim sudah hampir membuka selebar 10 cm. Saat itu aku merasa lega karena akhirnya boleh mengejan! Ya, tentu aja mengejan bisa meredakan rasa sakit serangan kontraksi. Pokoknya saat inilah yang aku tunggu-tunggu supaya penderitaanku cepat selesai! Hehehe…
Oke lanjutannya aku agak lupa ya detil-detilnya, karena rasanya udah campur aduk: letih tapi bersemangat karena akan melihat buah hati kami, nervous, pasrah, tidak sabar, senang tapi juga kesakitan, bagaimanapun konsentrasi harus ditujukan ke pengaturan napas dan mendorong bayi agar keluar dengan cara mengejan yang efektif. Yaitu dengan posisi berbaring dan kedua kaki dibuka lebar, lutut ditekuk ke arah atas. Masing-masing tangan merangkul setiap paha dan saat mengejan paha harus ditarik saling menjauh agar jalan lahir juga ikut melebar. Lalu sebelum mulai mengejan menarik napas yang dalam dan nanti ditahan sambil diejankan sambil dirasakan dorongan di perut untuk mengeluarkan si bayi. Saat mengejan kepala diangkat dan aku dianjurkan melihat ke arah perut sampai dagu menyentuh dada. Tidak boleh mengeluarkan suara juga merupakan teknik mengejan yang efektif.
Sebelumnya aku memang rutin mengikuti senam hamil seminggu sekali. Namun hari rabu saat akan bersiap senam hamil, bu kadek, bidan yang akan membantu persalinanku ternyata membatalkan jadwal senam hari itu karena dia harus menolong persalinan pasiennya. Saat menerima sms dari bu kadek, aku beri tahukan kepada suamiku, lalu dia dengan nada kecewa berkata, “ya kapan senamnya, udah deket ini”. Karena minggu lalu senam juga dibatalkan dengan alasan yang sama. Jadi pada hari terakhir aku senam sebelumnya, bu kadek sudah menjajikan akan mengajarkan teknik mengejan dan nanti aku akan diberi kesempatan berlatih. Tapi ternyata kesempatan itu terjadi di saat detik-detik akan melakukan persalinan sesungguhnya! *kalo boleh jumawa, cukup hebat juga kan aku? Karena langsung belajar di atas ranjang bersalin tepat saat mau melahirkan? Sedangkan bumil lain yang juga ikut sesi senam ada yang sudah berlatih mengejan beberapa kali lho hohoho*
Aku diminta untuk mencoba mengejan pertama kali saat kontraksi datang, jadi sesuai instruksi aku sudah dalam posisi yang diajarkan, lalu aku mulai mengejan. Ternyata berat, dan lebih berat daripada mengejan saat BAB. Wajahku serasa mengeras dan darah terkumpul di wajah. Ya, kata suamiku sih wajahku memang merah banget sampai hampir-hampir ungu. Aku mengusahakan agar mengejanku cukup lama dan panjang (tidak terputus-putus) yang memang nggak mudah kalo napas udah abis. Jeleknya aku saat mengejan mengeluarkan suara tertahan! Padahal aku udah mawas diri lho supaya tidak mengeluarkan suara. Nggak tau, suara itu pokoknya diluar kendaliku. Bu kadek dan 3 bidan asistennya udah mengingatkan supaya tidak mengeluarkan suara, tapi aku nggak tau caranya?! Yang aku pikir, ya ya ya jangan bersuara, tapi ternyata itu nggak bisa aku kontrol!
Saat pertama kali mengejan bu kadek udah bilang, “bagus, tan..ya ayo terus, ayo.. Bagus!” Kata-kata bu kadek yang menyemangati itu membuatku termotivasi sampai akhirnya bu kadek bilang bahwa kepala si kecil sudah kelihatan! Suamiku dipanggil mendekat untuk melihatnya. Kata dia saat kami ngobrol-ngobrol beberapa minggu setelah hari itu, dia memang melihat kepala anak kami, “kelihatan sedikit”.
Tahap mengejan pertama udah dilewati, bu kadek bilang padaku untuk istirahat setengah jam. Nanti mulai mengejan lagi dan aku diminta supaya mendorong yang kuat usahakan yang panjang tanpa terputus. Bu kadek pun bersiap-siap sambil menunggu. Sedangkan aku? Serangan kontraksi itu tetap ada datang dan pergi setiap beberapa menit sekali dan aku kesakitan terus. Suamiku dan asisten bidan lainnya berkata untuk atur napas, jangan mengejan dulu. Tapi secara refleks mengejan itu sulit dihindari.
30 menit waktu yang harusnya aku pergunakan untuk istirahat, mengumpulkan energi jadi terpakai untuk melakukan hal-hal yang bisa meredakan sakitnya serangan kontraksi. Dan 30 menit itu terasa lamaaaa sekali! Aku berguling ke kiri dan ke kanan (mungkin. Soalnya lupa apa aja yang udah dilakukan saat itu) untuk membunuh waktu dan rasa sakit!
Saatnya mengejan lagi tiba… Sebelumnya pada awal-awal mencoba mengejan, bu Kadek memperbolehkan aku memakai posisi badan miring ke kiri. Tapi akhirnya jadi dengan posisi terlentang. Lalu setelah jeda setengah jam ini, aku mencoba mengejan terus setelah menarik napas dalam-dalam. Selanjutnya yang aku lakukan hanya mengejan-mengejan dan mengejan. Ada salah satu asisten bidan yang membantu dengan mendorong bagian perutku yang dekat dengan dada ke arah depan lurus dengan arah pandangku. Pada saat-saat genting ini aku udah mulai agak lupa apa-apa lagi yang terjadi secara detil. Bu kadek sempat bilang bahwa sebaiknya kalo sudah nggak kuat napasnya untuk ngejan, mending distop ngejannya dan mulai dari awal. Ya, sebaik-baiknya usahaku saat itu, tetap ada saat-saat dimana aku tetap ngotot mengejan meski terputus-putus napasnya.
Kata suamiku, saat napasku mulai habis dan si bayi belum terdorong maksimal kepalanya, bu kadek langsung menyayat perineumku. Aku pada waktu itu nggak merasakan sakit sayatan itu tapi aku sempat melihat tanda-tanda akan disayat dan juga rasa seperti mulut vagina melebar dengan drastis. Sambil terus mendorong dan mendengar bu kadek berkata sedikit lagi karena kepala sudah keluar.. Akhirnya aku merasakan seolah-olah sumbat bendungan sudah tercabut. Aku bisa merasakan dengan cukup jelas air ketuban serta badan bayi kecil kami melesat keluar melalu mulut vagina. Setelah itu ranjang jadi basah dan licin.
Sekarang adalah kelegaan kedua yang kurasakan karena bayi kami telah lahir! Aku tidak langsung mendengarkan suara tangis bayi. Yang ku dengar hanya suara seperti rengekan atau rintihan sambil merengek. Tapi bukan tangisan yang kencang seperti yang pada umumnya diceritakan mengenai keadaan bayi sesaat setelah dilahirkan. Saat aku melongok melihat ke arah kakiku, Kalki kecil kami berbaring di ujung ranjang bersalin dan bu kadek sedang menyedot sesuatu dari Kalki dengan menggunakan selang bening berdiameter kecil.
Apa yang terjadi selanjutnya, Kalki berusaha dibuat menangis oleh bu kadek dan asistennya. Suamiku tetap masih ada di ruang bersalin bersamaku. Ia memerhatikan Kalki seingatku, dan katanya setelah itu dia agak cemas karena Kalki tidak langsung menangis keras. Kata bu kadek, Kalki sedikit terbelit tali pusatnya, makanya perineumku disayat agar ia bisa segera dikeluarkan. Ada kemungkinan dia kekurangan oksigen sehingga tidak langsung menangis. Lalu akhirnya dia bisa menangis juga. Syukurlah. Astungkara Sang Hyang Widhi Wasa.
Hiruk pikuk yang terjadi selanjutnya adalah bu kadek dan 2 asistennya membersihkan Kalki dari darah dan cairan amnion yang masih menempel dan menanyakan segala perlengkapan bayi yang telah dibawa. Sedangkan salah satu asisten menggulung tali pusat yang masih tersisa di rahimku supaya keluar seluruhnya, beberapa saat digulung.. Tiba-tiba tali pusatnya putus! Dan asisten tersebut bingung, akhirnya bu kadek mengambil alih dan merogoh ke dalam rahimku. Hmmm… Aku was-was juga saat itu. Untungnya berhasil keluar plasentanya.
Setelah hiruk pikuk kelahiran buah hati kami dibarengi pengeluaran plasenta yang tidak berjalan mulus, aku pikir aku bisa benar-benar lega pada akhirnya dan melihat bayiku lalu melakukan IMD. Tenyata tidak… Kalki perlu diberi oksigen sedangkan aku perlu jahitan perineum! Astaga, aku benci ini. Kata bu kadek pakai obat bius. Obat bius apanya? Setelah injeksi di bagian perineum, ternyata itu tidak berhasil membuat area tersebut kebal! Aku tetap merasakan sakit tusukan dan terasa gesekan tarikan benang jahitnya. Ditambah proses menjahit itu lama sekali pula. Aku bolak-balik menanyakan apa sudah selesai. Bu kadek bilang tinggal sedikit, tinggal sedikit yang ternyata tetap masih berlangsung makan waktu tidak sedikit. Bu kadek menjahit dan bolak-balik mengecek apakah masih terdapat pendarahan atau tidak, jika masih maka akan dijahit lagi.. Ya ampun. Aku sudah tidak tahan lagi menahan sakit, kemana sih kerjanya obat bius itu?! Ternyata aku dapat 10 jahitan.
Oh ya, suamiku membantu mengelap keringatku yang mengucur selama proses persalinan hingga proses pasca persalinan. Setelah selesai bersalin aku jadi menggigil kedinginan, dan aku minta diberi sarung atau selimut, suamiku pun mengambilkan dan menyelimutiku. Bu kadek menanyakan apakah aku pusing, aku jawab nggak. Lalu ia menawarkan teh. Ya, aku memang haus sekali. Suamiku mendapat pujian dari salah satu asisten bidan, “bapaknya telaten, ya”. Kira-kira begitu *kalo ga salah denger, malah awalnya aku kira “bapaknya ‘teladan'” hihihihi* sedangkan aku juga mendapat pujian lhoo… Yaitu pinter nahan rasa sakit, begitu kata bu kadek, karena ada ibu lain yang mengerang, berteriak, juga menangis saat bersalin. Sedangkan asisten bu kadek bilang aku pandai mengatur napas. Thankyou thankyou.
Setelah Kalki selesai dibersihkan, mereka menimbang dan mengukurnya. Dikatakan berat kalki 3,45 kg dengan panjang 50 cm, lahir pukul 06.55 WITA. Lalu Kalki dibawa kepadaku, aku bisa melihat wajahnya untuk pertama kali. Wajahnya ganteng juga. Dan yang menarik mata bagiku adalah bagian kepalanya, tulang tengkoraknya terlihat ada yang menyembul berbentuk garis di bagian kening sebelah kanan dan kiri. Aku bertanya-tanya apakah kepala bayi baru lahir normal begini? Tapi pikiran itu langsung tergantikan dengan sesi IMD. Saat itu IMD kami (aku dan Kalki) tidak skin-to-skin karena Kalki sudah dibalut dengan selimut tebal dan ia didekapkan ke arah dadaku. Aku yang tadinya sudah memakai baju karena kedinginan, mendapati baju itu menyulitkan meski sudah dibuka kancing bagian dada, jadi aku buka saja. Tidak mudah mencari posisi pendekapan yang enak dan nyaman untuk pertama kalinya bersama bayiku. Bu kadek sudah membantu mengarahkan Kalki ke payudara kanan lalu kiri, mengarahkan puting ke mulutnya, tapi pelekatan tidak terjadi dengan baik sehingga belum ada hisapan 😦
Setelah proses IMD yang menurutku berlangsung kurang lancar dan sempurna, bu kadek menganjurkan untuk istirahat dulu dan mencoba lagi nanti. Maka aku boleh rebahan atau mencoba tidur, sedangkan Kalki di letakkan di ranjang sebelahku dengan disinari lampu dan diberi oksigen. Aku mencoba untuk tidur karena ngantuk dan capek tapi yang bisa kulakukan hanya memejamkan mata sambil berpikir-pikir, merasakan perasaan senang dan lega. Juga sempat bicara di telpon dengan mama sebentar dan membalas bbm yang masuk :ρ
Oh ya sebelumnya juga telah dibawakan sarapan untukku, suamiku membantu menyuapiku, tapi aku agak rancu urutan waktu yang terjadi pada pagi itu, seperti yang aku bilang bahwa aku lupa. Setelah semua itu, suamiku perlu ke apotek di klinik Kasta Gumani untuk membeli antibiotik Renasistin untuk Kalki. Aku sempat kecewa karena suamiku harus keluar dan tidak bisa menemaniku. Akhirnya aku di ruang bersalin berdua dengan Kalki, kadang bu kadek masuk atau asisten-asistennya untuk menanyakan keadaanku atau untuk menulis sesuatu sambil aku juga tetap mencoba tidur dan sesekali melirik ke arah Kalki.
-
-
fresh from the womb
-
-
meet my son
-
-
perjuangan imd