Journey to Make Ecobricks

Tidak terpikirkan sebelumnya untuk mengelola sampah plastik dijadikan sebuah ecobrick. Karena apa, di keluarga saya nggak ada yang konsumsi air minum dalam kemasan botol. Saya sekeluarga biasa minum air dari mata air yang disalurkan melalui pipa. Saat ini sih air dari mata air sudah berkurang bahkan tidak mengalir lagi sampai ke rumah. Sebagai gantinya, kami pakai air sistem perpipaan yang sumbernya dari sungai. Sampai ke rumah, air sungai tersebut kami saring menggunakan bak khusus.

Nah, itu sedikit cerita tentang sumber air minum keluarga. Sempat bertanya-tanya juga mengapa air dari mata air tersebut nggak sampai lagi alirannya ke rumah kami. Apakah karena debitnya semakin kecil? Sehingga air tersebut sampai ke rumah warga lain terlebih dahulu yang lebih dekat? Saya nggak tau pasti. Saya lihat di Pura Pangkung Sakti, mata airnya tetap mengalir. Bisa juga debit air semakin mengecil karena daya serap tanah semakin berkurang. Saya takut jika mengetahui sebabnya akibat dari sampah plastik, tanah tidak bisa menyerap air lebih banyak air lagi daripada sebelumnya.

Cukup cerita tentang airnya.. Lanjut ke ecobrick. Januari tahun lalu, saya sempat ikut 31 Day Zero Waste Challenge dari Instagram @zerowaste.id_official dan @sayapilihbumi. Dari sana lah saya mulai mengenal ecobrick. Saya sudah mulai memisahkan sampah dari tahun 2018 karena pada tahun 2018 saya telah membuat lubang kompos. Sehingga sampah plastik tidak bercampur dengan sampah organik lagi. Dari teman-teman lain di Instagram yang mention @zerowaste.id_official di Instastory, saya jadi tau bahwa sampah plastik bisa dikelola dengan membuat Ecobrick.

Lalu pada bulan Februari saya mengundang Komunitas Bring Your Tumbler untuk datang ke Yayasan Eka Chita Pradnyan tempat saya mengajar. Mereka pun bersedia datang dan memberikan edukasi kepada murid-murid saya tentang pentingnya menjaga lingkungan dan ada juga workshop pembuatan ecobrick! Sebelum acara One Day Ecocamp bersama Bring Your Tumbler, saya sudah meminta murid-murid untuk mengumpulkan sampah plastik yang mereka hasilkan dari kegiatan konsumsi sehari-hari. Lalu saya minta untuk dicuci dan dikeringkan jika kemasan plastik tersebut kotor.

Saya sendiri juga melakukan hal yang sama di rumah. Saya kumpulkan kemasan-kemasan plastik yang saya timbulkan dari kegiatan konsumsi keluarga di rumah. Saya cuci dengan sabun dan saya tiriskan atau kadang juga dijemur, persis seperti mencuci piring. Setelah kering saya kumpulkan di kardus, lalu saya gunting-gunting menjadi potongan kecil sehingga akan mudah dimasukkan dan mengisi ruang botol air mineral bekas.

Ini captionnya, suami saya yang nulis, ya… Karena yang mengelola akun @kalkikavin adalah suami.

Saya mengumpulkan potongan-potongan kemasan plastik itu selama beberapa hari sebelum acara berlangsung dan mendapatkan satu toples besar potongan plastik seperti konfeti. Awalnya bikin untuk persiapan acara One Day Ecocamp bersama Bring Your Tumbler di yayasan. Setelah ikut workshop di yayasan, saya baru praktik membuat ecobrick-nya. Saat workshop murid-murid saya juga membawa potongan kemasan plastik yang mereka kumpulkan. Setelah semua anak berhasil membuat ecobrick, kami pun menyatukan ecobrick yang terkumpul menjadi sebuah tempat duduk kecil.

Setelah acara One Day Ecocamp bersama Komunitas Bring Your Tumbler selesai, saya jadi tetap melanjutkan membuat ecobrick karena sampah plastik yang dihasilkan oleh keluarga saya masih ada. Akhirnya saya ngumpul-ngumpulin botol bekas air mineral yang ukuran 1,5 L. Saya minta dari toko Bumdes di kantor yang penjaga tokonya ngumpul-ngumpulin botol bekas. Selain itu saya juga pernah memungut botol yang saya jumpai di jalan. Sampai pada akhirnya saya ditawari oleh Oma Trudy (oma pendiri yayasan tempat saya kerja) botol bekas Coca Cola ukuran 1,5 L dan saya dikasi banyaaak banget!

Mencuci botol-botol bekas Coca Cola

Botol-botol kemasan air mineral itu pun ya saya cuci dengan sabun cuci piring dan saya keringkan di rak gelas. Proses pengeringannya lumayan susah juga, karena mulut botolnya kecil dan ruang botolnya besar. Kadang saya jemur aja botol-botol tersebut di atas rumput terkena sinar matahari supaya cepat kering bagian dalamnya. Pernah saya butuh botol yang kering segera, maka saya keringkan dengan hair dryer, eeeh…. botolnya malah meleot kena panas yang intens. Ternyata banyak upaya yang perlu dikerahkan, ya, untuk mengusahakan pembuatan ecobrick ini. Tapi saya nggak sendirian, saya dibantu suami dan anak-anak. Syukur mereka seneng-seneng aja buatnya.

Dalam proses pembuatan ecobrick ini saya jadi kerasa capeknya ngurusin sampah plastik. Betapa sumber daya dan tenaga yang dikucurkan untuk membuat ecobrick sebagai bagian dari penanggulangan sampah plastik secara pribadi itu lumayan banget tercurah. Maka dari itu saya dan suami sepakat bahwa sangat penting untuk mengurangi timbulnya sampah plastik dari skala rumah tangga kami sendiri. Bagi saya mengurusi sampah plastik itu melelahkan, memakan waktu dan memakan sumber daya banget. Bayangkan berapa jumlah debit air bersih yang sudah saya kucurkan untuk membersihkan sampah-sampah plastik dan botol kemasan air mineral/Coca Cola? Belum lagi sabun cuci piring di rumah juga jadi cepat habis.

Proses mengeringkan kemasan plastik setelah dicuci bersih

Saya pun memberi tau anak-anak saya bahwa ngurusin sampah plastik itu lebih ribet dari pada kita berusaha bawa wadah sendiri untuk beli makanan tanpa kemasan plastik. Tapi anak-anak saya cukup seneng-seneng saja, sih dalam proses menggunting kemasan-kemasan plastik bekas makanan ringan. Oh ya, nggak semua plastik kemasan itu saya cuci, ada juga yang bisa dilap aja, atau bahkan nggak perlu dibersihkan dulu seperti sampah kemasan mi instan, sampah selotip, bubble wrap dan plastik pembungkus paket.

Ecobrick pertama kami beratnya 500 gram dibuat dalam kurun waktu kurnag-lebih 1 bulan

Sudah hampir satu tahun setengah keluarga saya membuat ecobrick. Total saat ini ecobrick yang terkumpul ada 22 ecobrick. Dalam empat bulan saya bisa menghasilkan 3 ecobrick. Tentu bukan kesuksesan jika saya bisa membuat banyak ecobrick dalam waktu yang lebih singkat karena berarti sampah plastik skala rumah tangga saya makin banyak, dong.

Pernah juga kami menyumbangkan satu ecobrick untuk sekolah Kalki karena Kalki mendapat tugas untuk membuat ecobrick. Di saat teman-teman Kalki di sekolah harus kebut membuat satu ecobrick dalam waktu beberapa hari saja, Kalki dengan tenangnya tinggal mama persiapkan satu untuk dibawa ke sekolah. Ini juga kan hasil kerja Kalki dan Kavin ikut bantu-bantu mama dan papa nyicil-nyicil ngerjain ecobrick di sela-sela waktu luang.

Selanjutnya, saya pernah diskusikan dengan suami ecobrick yang terkumpul mau dibuat apa? Saya pernah saranin untuk dibuat sebagai pagar bedeng tanaman. Tapi takutnya kalau di luar kelamaan kena efek cuaca, takut ecobrick-nya jadi rapuh. Karena plastik emang lama-kelamaan akan menyerpih terkena panas matahari. Wah, bahaya nih, kalau botol plastiknya koyak, kan isi sampah plastik di dalamnya bisa terburai. Suami bilang, ecobrick ya cocoknya dijadikan pengganti brick atau batu bata. Maksudnya harus disemen sampai tidak kelihatan bagian ecobrick-nya. Ini untuk menghindari bagian plastik terkena panas matahari dan lambat laun menjadi rapuh.

Dijadikan tempat duduk atau meja, suami juga nggak setuju karena takut lama-kelamaan penyok terus jadi rapuh. Sementara ini kami masih ngumpul-ngumpulin ecobrick aja sambil mikirin enakan nanti dibuat jadi apa… Atau siapa tau bakal kami sumbangkan ke bank sampah atau ke yayasan untuk diolah lagi. Udah pernah nyoba bikin ecobrick belum?

❤️ Intan Rastini.

4 thoughts on “Journey to Make Ecobricks

  1. Wah kreatif mengelola sampah plastik, semoga banyak yg meniru yaa. Klo di Jerman wajib rumah tangga memilah sampah, ada tempat sampah kering, organik dan sampah rumah tangga (tidak bisa didaur ulang), untuk sampah plastik dan kertas nya nanti didaur ulang buat bikin barang baru, termasuk botol beling kudu ditaruh ditempat khusus juga, awalnya tinggal disini ribet, sampah mana masuk tong sampah mana haha, lama-lama terbiasa memilah sampah.

    • Memang harusnya semua negara ada sistem pengelolaan sampah yang terpadu seperti itu mbak, dari skala rumah tangga mulai dipilahnya, bukan udah tercampur di TPA baru dipilah itu ga efisien dan ga manusiawi bagi pekerja di TPA, buruk bagi kesehatan mereka juga.

      Saya juga setelah belajar memilah sampah, juga jadi nggak terasa ribet karena udah tau jenis sampah, dan udah menyediakan wadah untuk mengumpulkannya. Sayangnya pusing mikirin ini penyalurannya kemana, ga lancar gitu yang mau ngumpulin sampah plastik, sampah kaca, sampah kardus. Iya kalau rutin udah ada yang akan mengumpulkan kan enak, di rumah tinggal pisahkan dan kumpulin sampai dijemput sampahnya.

  2. Waaaaah, baru tahu saya ada Ecobrick, ilmu baru. Di sini sampah plastik juga memprihatinkan. Buah-buahan semua dibungkus plastik demi alasan health and safety. Brocoli satu biji aja dibungkus cling wrap. Suka sebel kalau habis belanja karena banyak sampah.

    Sampah plastik sendiri di sini dipisakan untuk masuk ke tempat sampah recycle, kami tiap bulan harus bayar sampah ini untuk diangkut. Yang menyebalkan, sampah ini (kami harus bayar) ternyata dibuang lagi ke salah satu negara Nordic untuk ditanam di tanah. Aduh…

    • Terima kasih mbak Tjetje udah berkunjung kemari. Memang masalah sampah itu memprihatinkan mbak, dalam jangka waktu yang lama akan terus menumpuk. Harusnya pemerintah pusat ambil kebijakan untuk stop produksi plastik, dan produsen pun berhenti memasarkan produk dengan plastik karena sampahnya susah ditanggulangi. Kalau cuma dibebankan ke konsumen ya nggak bakal ada habisnya.

      Sama saya juga sebel sama sampah plastik cuma dipindah-pindahkan nggak ada solusi tepat untuk mengatasi pencemaran lingkungannya.

Thank you for reading my post, hope you enjoy it. Please... don't type an active link in the comment, because it will be marked as a spam automatically. I'd love to visit your blog if you fill the "website" form :)