My Day of Silence

Kegiatan Nyepi yang saya tuliskan berdasarkan pengalaman pribadi sendiri ini udah macam portofolio aja, apakah saya berhasil menunaikan tapa brata penyepian atau berhasil menapaki tingkatan spiritual yang lebih tinggi, dan sebagainya… Ya, yang saya rasakan seperti itu. Seperti bahan evaluasi diri sendiri setiap pergantian tahun Saka. Nyepi kali ini adalah pergantian tahun baru saka 1943. Hari Nyepi jatuhnya selalu pada tilem atau bulan baru kesembilan dari perhitungan kalender Bali.

Sedikit gamang memang menuliskan kegiatan saya sendiri di hari raya Nyepi, yaitu hari dimana umat Hindu sebenarnya tidak berkegiatan apa-apa. Bagaimana bisa manusia yang hidup itu luput dari berkegiatan? Rebahan atau tidur saja itu merupakan suatu kegiatan. Tetapi esensi dalam hari Nyepi sebagai pergantian tahun Saka ini diyakini dengan tidak terlalu larut dalam kesenangan merayakan pergantian tahun yang baru.

Jadi apa yang saya lakukan di hari Nyepi tahun ini? Saya bangun pagi pukul 05.52 WITA. Segera setelah bangun saya kerok lidah, minum air putih hangat, lalu pergi ke kamar mandi. Selesai urusan di toilet, saya minum air putih lagi. Lalu ambil handuk dan pergi mandi. Tuntas mandi, saya gosok gigi lalu membalurkan masker charcoal di wajah saya.

Saat menunggu masker kering, saya duduk di atas kasur. Memandang ke buku Kynd Cookbook yang tergeletak di meja. Buku itu sudah dibuka oleh Kalki semalam, sekarang giliran saya membacanya. Dari pukul 06.20 WITA saya membaca perjalanan bisnis pendiri Café Kynd hingga pukul 08.00 WITA. Saya juga mencermati semua resep-resep makanan yang disajikan di buku tersebut lalu menandai dua resep yang ingin saya masak terlebih dahulu dengan bahan utama sayur kale.

Selesai membaca buku… Saya bergegas mencuci muka. Setelah itu ambil matras dan membeberkannya di atas rumput di pekarangan rumah. Saya bermeditasi dengan tema “Forgiveness” yang dipandu oleh Phisi di Peace Sea Podcast yang sudah saya unduh sebelumnya. Sesi meditasi Forgiveness itu tidak lama, hanya 15 menit saja. Setelah itu saya lanjutkan dengan meditasi Collective Consciousness yang durasinya lebih panjang yaitu 32 menit. Lama juga saya menikmati keheningan di hamparan rumput pekarangan ditemani ayam-ayam yang asyik mengais makanan di sekitar saya.

Saya rasa ini adalah momentum yang tepat untuk meditasi yang lebih lama, apalagi bertema “Collective Consciousness”. Saya merasakan suasana yang begitu hening di hari ini. Tidak ada lalu lalang kendaraan bermotor, tidak ada suara gonggongan anjing, tidak ada keributan apapun. Di saat Nyepi ini lah, orang yang merayakannya jadi lebih berkesadaran dalam melakukan kegiatan atau memutuskan hendak berbuat apa. Maka dari itu saya membayangkan jika semua orang meningkatkan kesadaran mental atau spiritualnya bersamaan di hari ini dengan upaya hening bersama seharian.

Sinar matahari mulai menyengat wajah saya hingga saya berkeringat, kira-kira saat itu sudah pukul 09.30 WITA. Saya pun melipat matras lalu masuk ke dalam rumah. Di dalam, saya ngadem terus ambil buku bu Geeta Vara, guru Ayurveda saya. Saya rebahan di atas kasur dan membaca buku Ayurveda, “A practical guide to optimal health, healing and vitality”.

Kok, ya tepat banget, saat Nyepi ini, saat saya sedang puasa makan dan minum.. Saya membaca bab lanjutan buku Ayurveda bu Geeta yaitu Chapter 11 tentang Detoxification. Bahasan di bab detoksifikasi ini ada Physical body detox (termasuk fasting atau puasa dan Sensory detox atau detoks indera-indera), Environmental detox, Occupational Detox, Relationship detox, dan Emotional detox. Akhirnya pukul setengah sebelas saya mengantuk dan memutuskan untuk meletakkan buku di meja dan tertidur.

Saya bangun pukul dua atau setengah tiga sore. Saat bangun saya sempat tanya Kalki, “Kak, jam berapa sekarang?”

Anak-anak tidak ada satu pun yang ikut mamanya tidur siang! Kata papa, “biarin saja anak-anak tidak tidur siang, supaya nanti malam pas gelap langsung tidur saja.”

Akhirnya saya duduk-duduk di ruang keluarga melihat suami saya mengajak main Kalki dan Kavin kartu memory game. Mereka berusaha bermain dengan tenang, tidak gaduh, dan tidak boleh ribut. Berseru tetap dilakukan tetapi dalam volume yang kecil. Mereka bermain beberapa putaran dan merasakan keseruan permainan mengingat motif atau pola dan letak pasangan kartu yang memiliki pola sama tersebut.

Sampai akhirnya Kalki ngambek dan tidak mau bermain lagi. Dia ngambek karena dimarahin melulu. Gimana mau nggak marah, kalau giliran orang diserobot terus?! Kavin pun akhirnya bermain berdua dengan papa, sampai dia pun berhenti bermain karena merasa bosan. Papa yang masih antusias bermain, melirik dan mengajak mama. Kami bermain hanya 1 putaran saja dengan hasil seri. Kavin yang mengetahui hasil permainan kami pun jadi takjub, “Wah seri! Wah seri!” begitu serunya.

Sekitar pukul 4 sore, seusai bermain kartu memory game saya menyiram tanaman. Menyaksikan Popo, anjing tetangga, datang tepat waktu untuk mengajak Golden Brown bermain. Ya, Popo kadang suka mampir ke rumah kami untuk bermain bersama Golden. Uniknya, jadwal Popo main ke rumah itu terjadwal! Sungguh anjing yang teratur dan terpola. Selain itu saya cukup sedih, mendapati dua buah Stroberi saya yang ranum digerogoti oleh oknum, yang saya tidak tau siapa. Digerogoti setengah dan dibiarkan masih menggantung di tangkainya.

Selanjutnya anak-anak pergi mandi satu per satu secara bergiliran. Setelah mereka semua pada selesai mandi, giliran mamanya yang mandi. Setelah mandi saya melakukan Puja Trisandya dan melanjutkan dengan merenung sejenak sambil tetap dalam posisi duduk bersimpuh. Saya berusaha mendengarkan ke dalam, juga ke luar. Yang terdengar adalah suara lingkungan sekitar yang sungguh cukup magical. Saya mendengar suara alam yang biasanya tertutup oleh suara bising dan dengung aktivitas manusia.

Anak-anak dan suami tetap makan sehari tiga kali selama hari Nyepi. Kalau saya, saya ingin tiap hari Nyepi menjadi hari detoksifikasi diri saya dari kenikmatan-kenikmatan indriawi. Meskipun itu hampir mustahil untuk dilakukan secara mutlak, saya melakukan semampu saya saja. Maka saat malam tiba… Selamat datang absolute darkness… Yang akhirnya kami tepis sebentar kepekatan gelap malam itu dengan menyalakan lampu meja yang temaram. Di luar sedang hujan sehingga suasana cukup dingin.

Kavin sudah berhasil dinina-bobokan oleh papa setelah sandi kala. Kakaknya, Kalki masih terjaga. Dia main gameboy sebentar lalu minta dibacakan buku Herbivorous Dinosaurs. Entah, karena situasi dan suasana atau karena perasaan saya saja, dari membaca buku Herbivorous Dinosaurs hati saya menjadi sayang dengan sifat-sifat dinosaurus pemakan tumbuh-tumbuhan ini di masa lampau. Memikirkan dunia mereka yang pernah ada di bumi yang sama dengan saya rasanya saja sudah spiritual sekali.

Lalu saya melanjutkan baca buku Ayurveda saya lagi hingga chapter 12 yang berjudl Food as Medicine. Menjelang akan tidur, yaitu pukul 9 malam, saya pun pergi ke dapur. Saya ambil beras dan mencucinya lalu merendamnya sebentar dalam wadah tembikar slow cooker. Setelah direndam saya beri santan, bubuk kunir, sedikit jinten, adas, ketumbar bubuk dan paprika bubuk lalu dimasak di dalam slow cooker elektrik. Saya potong-potong juga sayur kale dan mencemplungkannya ke dalam clay pot tersebut.

Saya mencoba melihat langit di saat gelap gulitanya malam Nyepi. Tetapi sayang, langit kali ini sedang mendung sehingga yang tampak hanya awan. Sejak sore hingga malam terus turun hujan. Hingga malam menjelang dini hari pun rasanya masih gerimis. Saya sudah berusaha melihat langit dengan keadaan yang benar-benar gelap yang hampir hanya bisa didapat di malam Nyepi saja di Bali, tetapi hasilnya betul-betul tidak segemerlap malam-malam Nyepi sebelumnya ketika langit cerah.

Akhirnya saya pergi tidur. Keesokan harinya saya terbangun pukul 5 WITA dalam keadaan lapar dan lemas. Terakhir saya makan makanan adalah pukul 8 malam pada hari Sabtu hari pengrupukan Nyepi, yaitu H-1 sebelum Nyepi. Dan pada hari Nyepi saya hanya minum air putih hangat pada pagi hari pukul 6 WITA. Hari H+1 Nyepi adalah hari Ngembak Geni. Yaitu hari boleh bebas menyalakan api kembali, bisa beraktivitas secara normal lagi. Tetapi kondisi badan saya tak normal. Saya mengalami pusing dan berkunang-kunang saat berdiri.

Dengan susah payah saya pergi ke toilet. Setelah itu saya berusaha membuat teh. Saya tidak mampu berdiri atau berjalan lama-lama. Sebentar-sebentar saya duduk atau rebahan. Yang pasti rasanya tidak enak dan lunglai. Tapi saya masih bisa membuat teh terbuat dari campuran rempah-rempah, daun mint dan kelopak mawar kering. Lalu saya buka bubur saya di slow cooker, menyendoknya ke atas piring, dan membiarkannya dingin.

Saya akhiri puasa saya dengan minum teh herbal hangat ditambah madu, juga memakan satu buah pisang. Saya pun pergi ke kamar dan melakukan Puja Trisandya dilanjutkan dengan bermeditasi tema “Surrender”. Keadaan fisik saya masih tak enak rasanya. Setelah selesai bermeditasi bahkan saya sempat rebahan sebentar. Lalu saya bangun dan menyantap sarapan bubur yang sudah saya siapkan.

Berangsur-angsur pun badan saya mulai pulih kembali setelah berbagai makanan yang telah saya lahap. Dan saya merasa senang karena saya berhasil melaluinya. Melalui brata penyepian di hari Nyepi, yaitu tidak menyalakan api, tidak bepergian, tidak bersenang-senang, dan tidak bekerja. Ya, meskipun bersenang-senang sedikit dengan bermain kartu bersama papa. Bahkan Kalki sempat bilang bahwa hari Nyepi itu membosankan baginya. Hahaha.

Bagi saya tidak menyalakan api atau amati geni dalam catur brata penyepian itu artinya bisa secara harfiah ataupun arti kias yang dalam. Bagi yang meyakininya, mungkin akan cukup dengan tidak menyalakan api kompor untuk memasak, atau menyalakan api penerangan yaitu lampu. Bagi saya amati geni adalah tetap tidak meyalakan api di dalam diri yaitu tidak semau gue (toleran), tidak tinggi ego, tidak emosian, dan tidak berkobar seperti api yang lantas lepas kendali diri pokoknya.

Selama Nyepi saya belajar mengendalikan diri sendiri. Puasa adalah salah satu caranya. Lantas bukan berarti saya tidak toleran dengan anggota keluarga saya yang lain. Nyepi juga berarti berhenti sejenak dari kegiatan rutin kita. Bisa dikata mengistirahatkan indera-indera kita atau mengheningkan cipta. Mengevaluasi hidup yang sudah kita tempuh selama ini. Merenungi pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dalam hidup dan sesekali juga saya memikirkan akan menempuh hidup ini dengan cara seperti apa ke depannya. Merefleksikan hal ini tentu tak bisa dilakukan jika suasana hingar-bingar. Maka dari itulah Nyepi ini saya berusaha resapi dengan menyepi diri dari hal-hal yang bersifat duniawi secara sementara. The day of silence. And it’s totally my day 😊.

“A great way to connect with your senses is through silence.”

“Meditation can help you connect with your inner wisdom and give your sensory organs the much-needed conscious rest and rejuvenation they need.”

                                                                                                                               Page 152, Chapter 11: Detoxification. Ayurveda book by Geeta Vara. ‘Ancient Wisdom for Modern Wellbeing’

🙏 Intan Rastini.

Mr Mario My Musician Neighbor

Saya kagum mengetahui ada seseorang yang begitu cinta dan passionate terhadap suatu kegiatan. Saking sukanya, sampai kegiatan itu dilakukan pagi, siang, sore, dan malam. Hampir setiap hari dan hampir sepanjaaaang hari. Orang tersebut tidak jauh-jauh adalah tetangga saya sendiri di sebelah utara rumah. Beliau adalah pak Mario yang hobi bermain alat musik tradisional Bali bernama rindik. Rindik ini adalah alat musik pukul yang terbuat dari bambu.

Pak Mario adalah seorang petani biasa yang hidup sederhana. Tetapi beliau sukses membuat hari-hari saya selama tinggal di desa ini jadi lebih ceria dan tidak merasa sendirian. Saya akan ceritakan awal mulanya sedikit, ya. Dulu waktu saya masih pacaran sama suami saya, saya beberapa kali pernah main ke kampung halaman pacar saya. Dari situ saya udah mendengar ada permainan alat musik bambu yang jarak sumber suaranya itu tidak jauh dari rumah pacar saya.

Sampai setelah menikah, dan saya menetap di rumah yang berada di kampung halaman suami saya ini, suara permainan musik pak Mario bisa semakin rutin saya dengarkan. Dari awal pagi, bisa mulai pukul setengah 6 pagi saya sudah bisa mendengarkan suara rindik ini. Di awal pagi bisa terdengar terus sampai siang. Kadang hanya terdengar sampai sekitar pukul 8 atau 9 pagi, karena mungkin pak Mario lanjut bekerja ke ladangnya. Nanti setelah jam makan siang bisa terdengar lagi alunan rindik hingga sore. Dan terus terdengar sampai malam  sekitar pukul 10 WITA.

Sebagian besar yang bisa saya dengar alunan musik rindik itu dimainkan sepanjang hari dan hampir tiap hari. Memang orang di desa ini bukan hanya pak Mario saja yang suka bermain rindik, tetapi suara rindik pak Mario lah yang paling dekat dengan rumah saya dan paling rutin terdengar. Alunan musik rindik ini merupakan hiburan gratis yang menyenangkan bagi saya. Benar-benar membuat hidup suasana desa tempat tinggal saya yang menurut saya sangat sepi, apalagi jika dibanding dulu saya tinggal di kota.

Dulu saat saya habis melahirkan lalu menyusui bayi saya, saya selalu merasa kesepian. Karena menjadi ibu baru itu rasanya seperti terisolasi dari kehidupan sosial, ditambah saya tidak punya teman di lingkungan tempat tinggal baru saya ini maka makin tambah menjadi-jadi rasa kesepiannya. Namun sayup-sayup selalu terdengar suara permainan rindik pak Mario dan itu menenangkan dan menghibur hati saya. Melalui alunan suara rindik tersebut, saya jadi selalu merasa seolah pak Mario menyampaikan pesan melalui permainan musiknya, “Ada saya di sini menemani mu”.

Bagaikan pelipur lara yang rendah hati dan tulus menghibur siapa pun yang mendengar suara permainan rindiknya, pak Mario masih tetap saja memainkan alat musik rindiknya sesuka hati, kapan pun beliau mau. Saat menuliskan posting blog ini pun saya sambil mendengarkan suara rindik yang dimainkan oleh pak Mario dan juga diiringi suara seruling yang ditiup oleh tetangga saya lainnya. Memang biasanya pak Mario bermain rindik secara solo sehari-hari, tetapi kadang juga terdengar ada sesi duet dengan permainan seruling tetangga sebelah rumahnya.

Pak Mario itu membuat sendiri rindik dari bambunya. Bahkan pada hari saya mendatangi rumahnya, pagi-pagi setelah saya selesai belanja di tukang sayur depan rumah, saya masih melihat pak Mario bermain rindik dengan perkakas berceceran di sebelahnya. Nampaknya pak Mario baru saja mengasah ulang atau memperbaiki rindik kesayangannya. Saat saya pergi belanja ke depan rumah, saya mendengar permainan rindik beliau, maka saya memberanikan diri tidak pulang setelah selesai membeli sayur dan lauk, melainkan melangkah terus melewati rumah saya dan masuk ke pemesuan (jalan setapak ke arah rumah) pak Mario.

Kenapa saya bilang memberanikan diri? Karena saya sudah lama ingin tulis cerita tentang tetangga saya yang hobi main rindik ini sejak lama, ingin menyertakan foto juga dalam cerita yang akan saya buat. Tetapi saya malu dan takut ditolak pak Mario dalam meminta izin untuk mendokumentasikan beliau. Nggak taunya pak Mario sangat welcome, lho. Jadi saya senang!

Saya datang dan menginterupsi pak Mario yang sedang bermain rindik di beranda bangunan ruang dapurnya. “pak, boleh saya ambil foto bapak main rindik, untuk buat cerita?”

Pak Mario mengizinkan saya untuk memotret dirinya. Bahkan beliau menganjurkan dari sudut mana saya sebaiknya mengambil foto :D. Bahkan menawarkan apakah rindiknya perlu diubah posisinya. Maka saya jawab, “Oh, tidak usah, saya mau foto seperti biasanya bapak main rindik saja.”

Setelah mengambil beberapa jepretan, men Mario datang dan menanyakan ada apa. Saya jawab bahwa saya ingin mengambil foto untuk membuat cerita tentang pak Mario yang suka main rindik. Kemudian men Mario masuk menuju ke dapur hendak melanjutkan aktivitasnya untuk memasak. Saya sempat bercakap-cakap dengan men Mario sebelum akhirnya berterima kasih dan pulang. Saat saya pamit dan bergegas pulang ke rumah di sebelah pun pak Mario tidak berhenti memainkan rindiknya.

Beliau begitu jago memainkan alunan isntrumental rindik. Biasanya yang dimainkan bertempo cepat meski pernah juga memainkan suatu musik dengan tempo yang lebih lambat. Saya juga pernah mendapati beliau memainkan lagu yang saya kenal dari Jawa, yaitu lagu “Gundul Gundul Pacul” dan lagu lainnya yang saya lupa namanya. Hati saya begitu terhibur mendengarnya. Mengingatkan akan masa kecil saya yang saya habiskan di Jawa hingga akhirnya saya menikah dan menetap ke Bali. Sisanya pak Mario memainkan alunan musik Bali yang tidak saya kenal, tapi akhirnya khas saya dengar dari permainan beliau.

Kembali saat saya baru melahirkan anak pertama saya, Kalki. Ayah dan mama saya datang untuk menengok dan menemani hari-hari saya sebagai ibu baru. Saya sempat cerita mengenai pak Mario kepada ayah saya, bahwa saya mendengarkan alunan musik rindik selama tinggal di sini. Saya akhirnya menanyakan kepada ayah apa tidak mau berkunjung ke rumah pak Mario karena ayah kan juga suka main rindik. Eh, nggak taunya beneran malam itu ayah saya main ke rumah pak Mario dan kata ayah saya mereka ngobrol sambil sebentar-sebentar main rindik. Ayah pun baru pulang dini hari dari rumah tetangga saya itu.

Sejak saat itu, kalau saya bertemu pak Mario kurang lebih yang ditanyakan kepada saya adalah, “ayahnya nggak pulang* ke sini?”

Jika saya jawab pulang kapan hari, pasti akan lanjut ditanya, “Kok nggak ada main ke sini (maksudnya ke rumah pak Mario)?”

Saya cuma bisa tersenyum 😊.

Ya, ayah saya bisa main rindik tetapi tidak sejago pak Mario. Saya sendiri tidak jago memainkan alat musik. Main rindik tidak bisa. Tetapi kalau Kalki atau Kavin tertarik untuk belajar memainkan rindik atau membuat rindik dengan pak Mario saya mau saja persilakan mereka belajar kepada beliau. Saya pernah sih, ajak anak-anak saya main ke rumah pak Mario sesekali. Saya udah dorong-dorong adik atau kakak untuk coba memainkan rindik pak Mario, bahkan pak Mario sendiri juga sudah mempersilakan. Tapi anak-anak saya agak malu-malu hihihi… Oleh Kalki memang beneran dicoba untuk dipukul rindiknya sebentar aja.

Di dusun lain (dusun lebih kecil dari desa), yaitu di bale bengong sederhana buatan kelompok wisata di desa saya… bale bengong itu seperti tempat duduk-duduk atau tempat bengong-bengong (maka dari itu namanya bale bengong) dari kayu… di sana disediakan rindik pula untuk dimainkan oleh siapa saja yang mau melepas penat di bale bengong tersebut atau untuk sekedar nongkrong. Kadang rindik itu menganggur, kadang ada yang bapak-bapak yang memainkannya. Kalki dan Kavin suka asal pukul dengan bebas bilah-bilah rindik tersebut. Kalau ada bapak-bapak yang sedang memainkannya, bakalan dilihatin oleh mereka sebentar (kalau kebetulan kami lagi main ke sana) 😊.

Terima kasih, ya, pak Mario telah menemani hari-hari saya dengan permainan alat musik traditional bapak yang alunannya indah. Teruslah berkarya, pak. Semoga nanti Kalki dan Kavin ada minat memperdalam ilmu bermain alat musik tradisional karena orang tuanya nggak bisa ngajarin sama sekali, cuma bisa menikmati saja hahahaha 😅.

Baca juga cerita tentang anak pak Mario (makanya dipanggi pak Mario, karena nama anak pertamanya adalah Mario): Just Married: Mary n’ Mario yang pernah saya tulis awal tahun 2014 lalu.

❤ Intan Rastini.

*Orang Bali yang merantau ke luar Bali, selalu diistilahkan ‘pulang’ jika mengunjungi Bali, karena Bali adalah kampung halamannya.

Srikaya (Custard Apple)

Siapa suka srikaya? saya suka, dong. Buah ini adalah buah kenangan bagi saya. Karena masa kecil saya suka manjat pohon kenanga yang ada di sebelah pohon srikaya di rumah mbah saya dulu di Surabaya.

Pekak dan mbah saya dulu sempat-sempatnya menanam macam-macam pohon buah dan bunga di lahan pekarangan depan rumah mereka yang tidak seberapa. Yang saya ingat ada pohon buah jambu, kamboja, kenangan – eh kenanga, dan srikaya. Pohon srikaya ini tumbuhnya berdekatan dengan pohon kenanga. Dan letaknya di sebelah bak tempat sampah permanen yang terbuat dari semenan. Dan dari situlah saya suka manjat pohon kenanga yang udah tumbuh kuat. Ada pijakan yang konkrit juga kan dari bak sampah semen. Kalau manjat suka nggak tanggung-tanggung, bisa langsung sekalian ke genteng trus tembus jalan di atas genteng sampai masuk ke loteng rumah hehehe 😆😄.

Kalau udah terdengar suara langkah kaki saya di genteng, biasanya mbah atau budhe saya akan ribut tuh, “Intan, jangan naik-naik genteng! Nanti genteng mbah bocor!!!” Waaaaaakakak 🤣😆. Tapi saya tetap aja bandel dan berulang-ulang manjat lagi-manjat lagi. Malah saya bisa dari arah sebaliknya. Naik tangga ke loteng, lalu dari loteng keluar dari jendela menuju ke atas genteng. Jalan sedikit di atas genteng yang agak landai, ntar turun ke bawah bisa ketemu deh sama cabang pohon kenanga. Nanti saya akan turun dari pohon kenanga ke bawah. Turun di atas bak sampah itu tepatnya.

Pohon kenanga yang benar-benar pohon kenangan. Bunganya harum, dan di sebelahnya ada pohon buah yang unik dan manis rasanya, yaitu pohon srikaya. Srikaya ini bentuknya unik sekali, kulitnya sepintas berbentuk seperti isinya yang kecil-kecil berupa mirip sisik (tapi nggak tajam kayak salak) atau mata berbentuk wajik-wajik kecil gitu. Buahnya sendiri ada berukuran sekepalan tangan saya. Warnanya hijau. Kalau sudah matang akan berwarna hijau tua kehitaman. Kalau pun dipetik masih muda, bisa diperam ke dalam tempat penyimpanan beras supaya akhirnya matang. Secara orang Indonesia gitu kan, pasti punya tempat penyimpanan beras. Kalau di rumah saya, nama tempat penyimpanannya dalam basa Bali disebut “gebeh“. Itu semacam wadah gerabah besar bertutup untuk menyimpan beras di dapur. Biasanya saya simpan alpukat atau juga mangga di sana biar matang. Tumben kali ini nyimpan si manis srikaya.

Di Bali sini saya udah lama nggak makan srikaya. Kalau di rumah mbah saya…., beh… setiap pohonnya panen, kami bebas mau makan semasih ada buahnya. Kalau di sini, ya ga tau beli atau dapetin di mana karena belum pernah ketemu. Kebetulan saya lihat story WA tetangga saya dari dusun sebelah yang memperlihatkan lungsuran bantennya ada yang merupakan buah srikaya, gerak cepat dong langsung chat… “Bu, saya boleh minta lungsurannya?”

Saat dijawab boleh, saya langsung meluncur jalan pagi sama Kavin ke dusun sebelah. Dikasi lah kami 3 buah srikaya yang masih belum ranum (beserta buah-buahan lainnya seperti pisang, rambutan, dan apel… 🥰😍😚 hahaha makasih banyak, ya bu). Sampai rumah saya peram di dalam gebeh penyimpanan beras. Setelah dua atau tiga hari, buah srikaya udah pada ranum, yang akhirnya ngeluarin buahnya dari gebeh adalah papa. Papa bilang saking matangnya buah srikaya tersebut sampai merekah, terbelah sendiri sehingga daging buah isinya kelihatan. Udah empuk banget buahnya. Rasanya gimana? Manis, enak, lembut. Bijinya banyak, jadi macam makan buah sirsak tapi versi kecil dan versi manis. Sirsak kan berserat banget daging buahnya dan rasanya masam, kalau srikaya lebih enakan, lebih masir gitu dan gampang ngelepas biji dari daging buahnya. Ah, pokoknya seru makan buah ini. Sedikiiiiit banget mirip markisa si passion fruit gitu lho, model daging buah dan bijinya tapi nggak masam aja.

Kamu udah pernah coba belum? Nama lainnya banyak juga ya ini srikaya. Nama latin secara binomial nomenklatur adalah Annona squamosa. Sebutan lain dalam bahasa Inggris ada custard-apple, sugar-apple, sweetsop (iya kalau sirsak si masam, namnya soursop hihihi). Ini ada foto kenang-kenangan saya dan Kavin jalan-jalan pagi menjemput buah srikaya, eh malah ketemu pohon srikaya. Jadi selama ini tuh sebenernya sudah ada pohon buah srikaya di sini, toh! Alamak.

🧡💛🤎Intan, pecinta buah lokal.

Lovely Fireflies – Kunang-kunang Cantik

Tiga hari lalu bapak mertua saya meminta tolong saya untuk dibelikan canang sari. Lalu saat sudah sore saya asyik menulis blog tentang apa itu makna keluarga inti bagi saya sehingga saya baru bisa keluar rumah pukul 7 WITA. Saat saya berjalan keluar untuk ke dusun sebelah, saya melihat langit indah sekali penuh warna gradasi senja. Ada semburat biru, ungu, violet – ungu sama violet bedanya di mana, sih? – dan juga jingga atau lembayung. Makanya ya, namanya langit Bali dilukiskan oleh mbok penyanyi Saras Dewi sebagai Lembayung Bali, :D.

Saat sedang berjalan kaki menuju ke Dusun Munduk untuk membeli canang sari, saya asyik melihat langit yang ternyata belum gelap banget, masih cantik sedikit terang. Saya melewati rumah tetangga saya 2 blok ke arah barat. Lalu ibu tetangga yang sedang berdiri di atas jalan pemesuannya ngeliatin saya terus yang sedang berjalan kaki. Karena kami sama-sama pakai masker penutup hidung dan mulut, maka saya sapa saja, “ngujang, tuh mek?” (ngapain tuh, bu?).

Sontak, ibu tetangga yang dari tadi berdiri ngeliatin saya aja berseru, “eh!” Seraya tersadar kalau ternyata itu saya, Intan, tetangga di sebelah paling timur. Lalu si ibu balik bertanya, dengang bahasa Bali tentu, “mau kemana itu? Kok berjalan kaki?”

Saya jawab, “Ne, kal meli canang di banjar Munduk.” (nih, mau beli canang di banjar Munduk)

Ibu tetangga, “Nggak naik motor, tuh? Udah sore kok jalan kaki?”

Saya timpali, “Sing, sing kengken… Kaaan pe’ek.” (Nggak, nggak apa… kan dekat).

“Ibu tetangga jadi makin heran, “Wih, jani be sanje, peteng nyin ditu, bani mejalan liwat lebah peteng-peteng keto?” [Wah, sekarang udah sore, gelap nanti di situ (jalan yang akan saya lalui), berani lewat turunan (lebah) gelap-gelap gitu?].

“Bani.” Seperti yang sudah saya bilang “sing kengken” (tidak apa-apa), “kan pe’ek” (kan dekat) itu saja alasan saya.

Saya itu menjawabnya sambil terus berjalan saja, sambil lalu gitu. Emang bukan sengaja berhenti untuk menjawab ibu tetangga saya itu. Kan tujuan saya adalah mau beli canang, bukan untuk cangkruk gitu hahaha. Setelah saya berlalu ke arah lebah, semacam jalan turunan yang paling rendah yang kanan-kirinya itu tegalan (kebun cokelat, kelapa, manggis, dan duren milik warga dan ada yang milik bapak mertua juga)… saya sayup-sayup mendengar ibu tetangga yang saya sapa tadi mengobrol dengan tetangga saya lainnya di seberang rumahnya.

Ngomongnya keras-keras, gitu, kawan… Ngasi tau tentang saya. Jadi ceritanya saya diomongin nih, antar tetangga bahwa saya berani jalan ke dusun sebelah lewat jalan di ‘lebah’ gelap-gelap begini padahal ini sudah menjelang malam. Suara tetangga saya itu kerraasss banget, deh! Sampai saya pun bisa mendengarnya dengan jelas, sampai saya tertawa kecil sendiri. Yah, memang gelap sih, tapi masih ada cahaya dikit dari matahari yang hampir terbenam ke peraduan. Jadi masih bisa kelihatan jalannya meski sama sekali nggak ada lampu.

Saat melewati ‘lebah’ yang memang kayak lembah jalan paling rendah, otomatis saya harus naik lagi, dong, jalan menanjak lageee… Welcome sandal selop karet plastik tak nyaman yang udah bikin kaki saya akhirnya lecet wakakaka.. Sesampainya di toko warga yang menjual canang, saya bertanya, “bu ado, canang? Meli dasa tali.” (Bu ada canang, beli sepuluh ribu).

Setelah mendapatkan canang yang saya perlukan, ibu penjual dan kerabatnya berkata dalam bahasa Bali campur bahasa Indonesia ke saya, “Oh, nggak naik motor ke sini?”

Saya jawab, “Enggak.”

Ibu penjual bertanya lagi, “Jalan kaki tadi?”

Saya balas, “Iya.”

“Ish, ish, ish… atau ck, ck, ck….” begitulah kira-kira ibu penjual dan ibu kerabatnya yang ada di warung kalau bisa berkomentar kepada saya, entah mengomentari sebagai keprihatinan terhadap saya atau sebagai ungkapan keheranan. Cuma gara-gara nggak bawa motor aja, guys! Iya cuma karena jalan kaki ke warung di dusun sebelah, mengundang decak entah kasihan, heran, atau keprihatinan oleh orang-orang.

Bukannya kebalik, nggak, sih? Dulu kalian warga sini bukannya udah sering kemana-mana jalan kaki, bukannya malah naik motor? Giliran sekarang saya jalan kaki kenapa heran bu-ebu? Saya pun pulang, tapi sebelum pulang dari warung saya mampir ke tetangga lain yang masih di dusun itu. Saya papasan sama bapak BPD dan tegur sapa sebentar, lalu saya balik badan dan bertanya, “Pak! Rumah pak Dodi itu dimana?”

Setelah diberi tau, saya menuju ke sana yang jaraknya ada kira-kira 400 meter, lah dari warung ibu penjual canang. Saya ke rumah beliau untuk menanyakan apakah saya bisa memesan pupuk kandang. Setelah bertamu ke rumah Pak Dodi  ternyata ada istrinya yang menyambut saya. Saya pun menanyakan pupuk kandang, apa bisa saya pesan satu kampil (karung). Sayang, sungguh sayang karena musim hujan pupuk kandang pun belum siap. Jada saya bilang saya butuh satu kampil saja dan perlu untuk besok atau dua hari lagi.

Bu Dodi pun tak berani beri janji, karena jika tidak ada panas matahari, sulit untuk menyiapkan pupuk kandangnya. Maka saya tanya berapa biaya pupuk kandang satu kampil tersebut. Sebesar Rp 30.000 dan diantar langsung ke rumah. YA, saya pesan. Tapi sampai hari ini belum ada antaran pupuk kandang tersebut, sepertinya mereka benar-benar sulit menyiapkan pupuk kandang siap pakai di kala hujan. Apalagi kemarin menjelang Tahun Baru Cina pada hujan terus seharian.

Akhirnya saya pulang… Jeng jeng jeng… Langit di luar itu udah bener-bener petheng ndedhet, lur! Udah gelap buanget, deh. Apalagi namanya di desa penerangan itu minim sekali. Semasa saya melewati jalanan yang di antaranya ada rumah-rumah warga, it’s still okay. Tiba saatnya saya harus melewati jalan yang di antaranya hanya ada tegalan (perkebunan) saja. Oh, boy! Finally this way.

Jalanan ini udah mulai nggak ada rumah warganya, murni tegalan aja di kanan dan di kiri. Gimana gelapnya? Absolute darkness, friend! Benar-benar gelap gulita. Sekali, dua kali ada pengemudi sepeda motor yang lewat dari belakang saya. Saya sampai takut mereka terkejut dan saya dikira penampakan wanita halus, lagi wekekek. Tapi sepeda motor mereka memberi saya sedikit penerangan untuk jalan selebar 2meter yang saya sedang lalui (dan jalani dengan tabah).

Kegelapan ini lah yang membuat saya bisa lihat bulan atau bintang-bintan di langit. Tapi agak susah karena kanan dan kiri isinya pepohonan semua rada lebat. Tiba di lebah pun saya harus nyebrang sungai kecil yang mana saya takut kaki saya mengarah ke bahu jalan dan terperosok ke bantaran sungai hahaha lebay! Tapi emang seru, sih kalau dipikir-pikir saya nekat, ini udah kayak jurit malam di kala ikut kegiatan pramuka atau tantangan dari klub pecinta alam kali, ya!

Sampai pada saatnya saya harus berjalan nanjak kembali dan saya lihat semak-semak di sebelah kiri saya. Ada titik kuning terang banget! Itu titik kuning terlihat bercahaya sendiri dan terbang naik-turun dengan lembut, melayang di antara rimbun semak-semak di bahu jalan. Itu kunang-kunang! Ya ampun, saya sampai bahagia dan terharu sendiri bisa menemukan seekor kunang-kunang tersebut di semak-semak antara tepian kebun dan bahu jalan.

Sedih, senang, terharu karena pernah lihat sekelompok kunang-kunang banyak banget itu udah lama sekali saat saya masih kecil menginap di desa kampung halaman ayah saya di dusun Sekartaji. Sedih, lah guys memikirkan nostalgia di masa saya kanak-kanak menghabiskan waktu di desa asal saya bisa ketemu banyak kunang-kunang di malam hari dekat dapur rumah mbah saya. Saat itu saya sama mama, ayah dan adik laki-laki saya sama-sama menyaksikan kunang-kunang terbang segambreng di natah (pekarangan) di depan dapur.

Sorry fireflies, your habitat has been diminished by humans. After that I got home safely, and I told my husband about what I’ve seen. “you can’t belive this! I saw a firefly when I was walking to our neighbourhood village!”

Saya ingat pernah juga, kok, kedatangan tamu seekor kunang-kunang masuk ke kamar tidur kami. Saya, Kalki, Kavin, dan suami sampai terpesona dibuatnya. melihat kunang-kunang itu hidup, mahkluk hidup berpendar dan cantik sekali kemilau cahaya dari badannya. Ada yang bilang kunang-kunang itu dari kukunya orang yang sudah mati. Haduuuuh apaan, sih…!? Hihihi… Kunang-kunang itu hewan, mahkluk hidup seperti nyamuk, lalat, kelelawar, anjing, kucing. Dan dia sangat cantik.

Kalau kita jarang menemukan atau menjumpai hewan tersebut, biasanya kita akan terkejut dan kemunculannya dikonotasikan sebagai sesuatu yang mistis dan tak biasa. Yhaaaa iya lah, orang mereka hewan nokturnal. Coba aja cari musang dan kelelawar di saat hari terang. Nggak kelihatan dan jarang ketemu kan? Orang mereka tipe hewan malam yang keluarnya saat hari gelap.

I’ve seen magnificent creatures like dragonflies, ladybugs, bees, butterflies, birds, mantis, cobra, phyton, fireflies, bats, civet (musang atau lubak/luwak keluarga Viverridae), squirell, mole (tikus tanah yang suka gali tanah keluarga Talpidae), monitor lizard (biawak keluarga Varanidae) live freely in this village area. Thus, I’m so grateful that I still live in the area full of vegetation and very natural resources/ecology.

Kalau kamu pernah ketemu hewan malam atau nokturnal, nggak? Jangan kaget ya kalau ketemu mereka, bisa berhati-hati saja. Mereka adalah bagian dari ekosistem, yang menjaga ekologi kita. Sebagai manusia sebaiknya kamu juga bijak berbagi ruang hidup dengan hewan-hewan tersebut. Selama ini saya ada keiinginan juga, nih. Buat bertemu berang-berang di habitat aslinya. ketemu otter. Duh, lucu banget mereka hewan yang rajin bikin bendungan dan menggemaskan.

Selain itu pengen ketemu sigung (skunk) dan rakun (raccoon) juga. Udah ah, sebelum banyak maunye hehehe… Ntar kepengen ketemu beruang grizzle, musang merah (fox), serigala, hyena, zebra, buaya, dll lagi… Ye, kalau di Kebun Binatang Surabaya (KBS), Taman Safari Prigen, dan di Bali Zoo, sih udah pernah. Di alam liar, habitat asli mereka kan wow amazing banget kayak di sabana Asia atau Afrika gitu. Mumpung tinggal di Asia tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati yang mana termasuk bervariasinya mahkluk hidup baik flora dan fauna.

♡ Love the amazing nature, Intan.

Nyepi 2020 dan Wabah Covid-19

Kegiatan Nyepi di tahun 2020 kali ini berjalan sangat sepi. Pasalnya rangkaian persiapan menyambut hari raya Nyepi telah diinstruksikan oleh berbagai pemerintah daerah untuk tidak mengadakan kegiatan yang membuat orang berkerumun dan berkumpul dalam jumlah banyak. Di desa saya, sejak tanggal 15 Maret sudah ada himbauan untuk belajar dan bekerja di rumah. Tetapi di kantor desa tempat saya bekerja sebagai kantor pelayanan publik belum menerapkan sistem bekerja dari rumah. Kami para aparat desa dan staf masih masuk seperti biasa dan masih melayani warga di bidang administrasi. Sedangkan di tempat kerja saya di yayasan, les pun diliburkan selama dua minggu.

Meski demikian, kegiatan adat di banjar tetap berjalan hampir seperti biasa untuk kegiatan persiapan Nyepi. Kegiatan ngayah di Pura Puseh Desa Angkah masih berjalan. Memang di desa kami tidak ada kebiasaan membuat dan mengarak ogoh-ogoh, sehingga kami lebih fokus ke persiapan mecaru dan melasti. Bagaimanapun juga kegiatan ngayah itu adalah wadah berkumpulnya banyak orang. Saya sendiri datang ngayah tetapi hanya menyetor urak banten yang menjadi bagian saya. Ngeri juga membayangkan bahwa masyarakat masih mementingkan adat dan kepercayaan mereka daripada logika pencegahan penyebaran virus Corona.

Untuk melasti yang harusnya membawa pratima ke laut, tahun ini telah mendapat instruksi untuk dilakukan di beiji yang ada di desa. Dari surat tersebut maka saya simpulkan kegiatan melasti tahun ini harus dilokalisir hanya di desa pakraman setempat. Biasanya desa kami melakukan melasti hingga ke Pantai Soka dan itu arak-arakannya bisa menggunakan truk, mobil dan motor. Jarak dari desa ke Pantai Soka ada sekitar 10 km. Saya takut juga membayangkan jika melasti berjalan seperti biasa di tengah wabah virus Corona ini, bisa-bisa warga desa kami dari berbagai penjuru yang merantau pada pulang kampung dan ikut melasti. Lalu para umat Hindu jadi satu bertemu di Pantai Soka, karena bukan warga desa kami saja yang melasti ke Pantai Soka.

Akhirnya iring-iringan melasti di Desa Angkah jalan ke Pura Pangkung Sakti sebagai pura segara desa. Pura Pangkung Sakti ini cukup dekat dari Pura Puseh, kurang lebih hanya 1 km. Jadi para pengiring bisa berjalan kaki dari Pura Puseh ke Pura Pangkung Sakti. Saya sendiri tidak ikut melasti, tetapi dari status Whatsapp yang saya lihat dari tetangga saya, ternyata yang ikut banyak juga! Bukannya dari surat edaran bersama dari Gubernur Bali, PHDI Dan MDA, peserta yang mengikuti melasti harusnya dibatasi?

Akhirnya hari Nyepi datang dan saya melakukan aktivitas di rumah saja, seperti yang sudah dilakukan oleh sebagian besar orang sejak datangnya penyakit akibat virus Corona di Indonesia atau sejak himbauan untuk membatasi aktivitas, hingga sekolah-sekolah dan kantor ditutup dan mulai menerapkan belajar dan bekerja dari rumah. Nyepi ini berjalan 24 jam, dari jam 6 pagi pada hari Rabu, 25 Maret 2020 hingga jam 6 pagi pada hari Kamis, 26 Maret 2020. Apa saja yang saya dan anggota keluarga saya lakukan di rumah?

Biasanya saya puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam, tetapi karena saya sedang tidak fit akibat sakit tenggorokan seperti kena flu, maka puasa tidak saya lakukan. Sebenarnya saya suka dengan konsep puasa untuk mendetoksifikasi badan dan saluran pencernaan saya, maka kali ini yang saya lakukan adalah membatasi makan dengan minum air putih dan makan buah saja. Selama hari Nyepi saya hanya makan buah pepaya dan buah naga serta minum air putih. Tidak makan yang lainnya.

Pukul 05.30 WITA saya bangun lalu minum air putih dilanjutkan dengan mandi. Setelah mandi, saya membuka halaman tutorial online untuk kuliah saya sampai pukul 06.15 WITA halaman tuton masih bisa diakses lalu akhirnya melambat dan terhenti. Akhirnya saya melanjutkan dengan kegiatan menulis blog tentang pengalaman saya, yang akan saya posting setelah post ini.

Lalu pukul 8.00 WITA saya melakukan latihan otot perut dengan aplikasi di HP yang bernama Abs Exercise selama 25 menit. Saya melakukan olah raga ditemani oleh Kalki, dia menghitung berapa jumlah repetisi yang saya lakukan. Saya sangat senang dan terbantu sekali dengan bantuan Kalki sehingga saya bisa fokus ke pernapasan dan otot tanpa lupa hitungan. Di sisi lain, adik Kavin sedang menggambar menggunakan Paint di laptop.

Pukul 09.00 WITA saya makan buah pepaya dan minum air putih. Setelah itu bercengkrama dengan anak-anak dan mengajak mereka belajar.

Pukul 10.00 WITA saya membaca buku kuliah Pengantar Statistik Sosial. Saya pikir kok relevan sekali dengan adanya wabah penyakit COVID-19 saya jadi banyak membaca data statistik di media.

Pukul 11.00 WITA anak-anak makan siang, sedangkan saya makan buah naga. Setelah itu saya ajak mereka untuk tidur siang. Eh, ternyata yang berhasil diajak tidur siang hanya Kalki, sedangkan Kavin masih asyik bermain dengan papa.

Pukul 13.00 WITA saya bangun tidur siang tetapi Kalki masih terlelap. Saya pun bangun untuk makan buah Pepaya dan ngobrol dengan suami.

Pukul 14.00 WITA saya kembali membaca buku modul Pengantar Statistik Sosial dan mengerjakan latihan soal hingga akhirnya menyelesaikan modul 2.

Pukul 16.15 WITA Saya selesai membaca buku materi kuliah dan ke halaman rumah untuk memandikan anjing peliharaan saya, Golden. Saat mau memandikan Golden, ternyata Kalki sudah bangun dari tidur siang dan ikut membantu memberi shampoo pada si guguk.

Pukul 17.00 WITA memandikan anak-anak.

Pukul 17.30 WITA saya melakukan yoga Surya Namaskar 12 putaran.

Pukul 18.00 WITA saya mandi. Lalu makan buah naga bersama Kavin. Dan anak-anak pun makan soto ayam dan ketipat yang udah dipersiapkan sehari sebelum Nyepi. Lalu saya belajar kembali, kali ini materi Writing 4, Unit 1 tentang Prewriting.

Menjelang malam, welcome to the absolute darkness! Saya selalu suka dengan gelap gulitanya malam Nyepi, karena saya bisa lihat bintang di langit.

Pukul 19.30 WITA Saya ajak anak-anak lihat bintang dari halaman. Saya pun berbincang-bincang dengan suami sambil mengagumi indahnya bintang. Saya bergumam, “kira-kira di tata bintang lainnya ada peradaban tidak ya seperti di tata surya kita? Planet kita sedang diserang wabah Corona.”

Suami saya menjawab, “Bintang di luar angkasa itu jumlahnya lebih dari jutaan, ya kemungkinan dari jumlah sekian bisa terdapat peradaban seperti di tata surya kita.”

Saya berkata sambil menerawang ke bintang yang bertaburan di bagian langit selatan, “bagaimana ya keadaan peradaban di luar sana?”

“Kurang lebih ya sama seperti peradaban kita.” Kata suami saya.

“Pengen tau bagaimana tingkat peradabannya, spesiesnya, dan keadaan alam planetnya.” Jawab saya sambil berlalu menyudahi menikmati bintang di angkasa.

Saat melihat bintang, Kalki dan Kavin juga bergumam terpesona dengan indahnya kelap-kelip cahaya di angkasa. Tetapi Kalki dibarengi dengan tingkah polahnya lompat-lompat dan ambil posisi berdiri sambil setengah jungkir-balik di atas rumput halaman.

Pukul 20.00 WITA Saya gosok gigi, anak-anak pun demikian, lalu kami sekeluarga bercengkrama di dalam tenda yang telah dibuatkan suami untuk anak-anak di ruang keluarga. Tendanya terbuat dari pondasi 4 buah kursi dan bangku panjang sebagai tulang atap lalu ditutup oleh sprei. Tenda ini sudah dibuat dari sebelum hari Nyepi untuk wahana bermain anak-anak supaya mereka tidak bosan.

Sudah bikin tenda sehari sebelum Nyepi

Dari yang awalnya tenda hanya beralaskan matras Kalki dan Kavin, hingga pas hari Nyepi tenda tersebut sudah dilengkapi kasur. Kata suami, semalam sebelumnya Kavin minta tidur di tenda, tapi karena hanya beralaskan matras, badan suami saya jadi sakit semua. Saat suami kesakitan badannya tidur di lantai beralaskan matras, dia minta pindah ke kamar, tetapi Kavin nggak ngasih! Pas suami nanya, “Kavin badannya sakit nggak, tidur disini?”, Kavin menjawab, “Enggak.”

Kegiatan anak-anak di malam hari sebelum Nyepi, Selasa 24 Maret 2020

Akhirnya malam penghujung hari Nyepi saya yang diajak Kavin untuk tidur di tenda, sedangkan Kalki dan suami tidur di kamar. Begitulah saya dan keluarga menjalani hari Nyepi dan memaknainya. Saya berusaha memaknai hari Nyepi sebagai hari untuk merefleksikan diri dan berkontemplasi. Saya juga sempat memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai apa itu hari Nyepi dan apa yang sebaiknya dan tidak sebaiknya mereka lakukan pada hari Nyepi. Tapi ya namanya anak-anak, mereka masih aja suka bermain sambil teriak-teriak heboh dan ketawa cekikikan keras.

Keadaan selama hari raya Nyepi sebagai hari tahun baru Saka Umat Hindu memang dirayakan dengan tenang dan menyepi diri dari kehingar-bingaran atau pesta. Saya maknai tujuannya adalah menjauhkan diri dari keduniawian atau hedonisme sejenak. Tidak boleh bekerja, tidak boleh menyalakan api, tidak boleh bepergian dan tidak boleh mencari hiburan. Keadaan seperti itu adalah kesempatan untuk berhenti dari kesibukan yang sudah terpola bagi manusia masa kini hidup di dunia. Itulah kesempatan untuk menenangkan diri dan merenungkan kehidupan. Menghubungkan diri dengan alam dan Tuhan secara spiritual.

Maka selama Nyepi kali ini, hampir tetap saya berjalan seperti sebelumnya, yaitu tidak ada siaran televisi, tidak ada akses internet, tetapi aliran listrik tetap ada. Suara kendaraan bermotor di luar pun sama sekali tidak ada, tidak ada suara anak-anak bermain di jalan, dan tidak ada tetangga yang menyetel musik keras-keras atau pun memainkan alat musik rindik. Semuanya hening.

Keadaan Nyepi di Bali lebih ketat dari pada Nyepi di Jawa. Saya ingat dulu waktu masih merayakan Nyepi di Jawa, saat saya masih kecil masih bisa nonton TV di rumah dengan mama dan adik saya. Mau keluar rumah pun tidak takut ada pecalang yang akan menegur. Saat masih kecil mama saya selalu menyediakan stok makanan dan cemilan-cemilan untuk anak-anaknya. Tetapi semakin besar semakin diajarkan untuk berpuasa seharian oleh orang tua dan oleh guru agama di sekolah.

Kini saya sudah 8 kali merayakan Nyepi di Bali sejak menikah tinggal di Bali, dan hingga Nyepi kali ini, menyalakan kompor dan lampu masih saya lakukan di rumah untuk keperluan yang penting. Tapi kami tidak membuat masakan apa-apa, hanya menghangatkan masakan yang sudah dipersiapkan dari hari sebelum Nyepi. Karena bagi saya mematikan api bagian dari catur brata penyepian adalah mematikan api yang di dalam diri sendiri, bukan hanya secara simbolis mematikan api kompor dan api penerangan di rumah. Dan yang paling tau mengenai rumah terkecil kita yaitu badan kita tempat jiwa bernaung adalah diri kita sendiri.

Pagi hari Ngembak Geni, Kamis, 26 Maret 2020

Selamat Tahun Baru Saka 1942~

♡ Intan Rastini