My Lovable February 💗

Bulan Februari adalah bulan terfavorit saya dalam satu tahun. Alasannya karena bulan ini sungguh spesial dari bulan lainnya. Coba cek di kalender, dalam satu bulan, Februari lah yang memiliki jumlah hari terpendek yaitu 28 hari. Hanya setiap 4 tahun sekali Februari bisa berjumlah 29 hari yaitu pada tahun kabisat. Bulan Februari adalah bulan khusus juga buat anak usia dini, seperti Kavin si bungsu. Sebab bulan Februari ini adalah masanya pemberian vitamin A dan obat cacing, baik untuk balita di posyandu juga bagi anak usia prasekolah di Kelompok Belajar maupun Taman Kanak-kanak.

Alasan selanjutnya adalah karena bulan Februari adalah bulan kelahiran saya serta juga terdapat hari perayaan ulang tahun pernikahan orang tua saya. Budhe, kakak dari mama saya, yang paling dekat dengan saya pun berulang tahun tiap akhir bulan Februari di tahun kabisat. Pakde saya juga berulang tahun di bulan ini. Begitu juga dengan adik sepupu saya Putu Eka di Sekartaji. Bahkan ponakan-ponakan saya ada 3 anak yang berulang tahun di bulan ini! Yaitu Qia, Shan dan Iqbal. Lumayan banyak juga ya bagian dari keluarga saya yang merayakan hari lahirnya di bulan ini, sampai saya juluki kami adalah the February kids 😄 Saya ikutan doongg, kan masih tergolong kid 😚😆. Selain itu bulan Februari juga menjadi tuan rumah bagi Tahun Baru Imlek dan hari kasih sayang atau hari Valentine. Sehingga lengkaplah sudah saya nobatkan Februari sebagai bulan kasih sayang.

Hal-hal yang bisa saya syukuri selama menikmati bulan Februari tahun 2021 ini cukup banyak, untuk tiga teratas yang perlu saya highlight adalah…

Pertama, saya bisa merayakan ulang tahun saya bersama suami dan kedua anak saya, Kalki & Kavin. Meski merayakan di rumah saja, tapi saya senang. Pagi-pagi saya bisa bangun pagi untuk masak makanan enak buat sekeluarga. Masakannya biasa aja, kok. Masakan rumahan. Saya masak tahu Lombok (tahu susu yang lembut) dan kentang dipotong dadu, digoreng, lalu ditumis pakai tomat dan wortel. Hmm, yumm… saya masih inget betapa enaknya hahaha… Karena kami sekeluarga suka masakan itu. Melihat masakan saya matang saat itu saja suami saya sudah merasa lapar dan tergugah tidak sabar untuk sarapan. Hmmm… 🤤

Sehabis pulang kerja, saya pun mendapat kejutan dari suami dan anak-anak. Mereka udah bikin roti buat ulang tahun mamanya. Rotinya diulenin dan dibentuk lucu-lucu gitu. Isinya ada prune dan keju. Karena nggak pakai oven, jadinya yang dibikin papa Kalki & Kavin adalah roti kukus, rotinya mirip bakpao tapi bentuknya unik-unik! Saya pun mendapat kartu ucapan dari Kalki & Kavin juga hadiah berupa jedai berwarna hitam dari mereka, duh makasih love! Kami pun makan roti kukus bareng ditemani tepache yang sudah saya siapkan 3 hari sebelumnya 😊.

Kedua, saya dapat kesempatan untuk latihan yoga dan meditasi dari Phisi yoga dan Andiappan Yoga Community secara rutin. Dalam bulan Februari ini saya mulai intensifkan latihan secara mandiri melalui Peace Sea Podcast yang bagian Trilogy: Compassion, Forgiveness, Surrender. Per tema meditasi yang dipandu oleh Pishi, dilakukan sendiri tiap minggu. Compassion untuk sepekan dimulai dari Senin yang pas banget bertepatan pada tanggal 1 Februari hingga Minggu tanggal 7 Februari. Selanjutnya saya latihan meditasi bagian Forgiveness dari tanggal 8 Februari hingga 14 Februari. Dan dilanjutkan latihan meditasi bagian Surrender pada tanggal 15 Februari hingga 21 Februari.

Maka saya harus bangun jam 4 pagi tuh untuk latihan meditasi lalu tiap habis meditasi dilanjutkan latihan yoga Surya Namaskara. Minggu ini sebagai minggu ke-4, mulai Senin, 22 Februari saya latihannya mixed, tema Compassion, Forgiveness, Surrender masing-masing 2 kali selama 6 hari lalu ditambah bonus 1 sesi meditasi tema Surrender untuk tanggal 28 Februari. Kok, ya pas banget kan, program latihannya memang 4 minggu atau 28 hari yang satu bulan hanya ada di bulan Februari. Dan bulan Februari ini tanggal 1 dimulai dengan hari senin. Bagi saya yang memang suka mengawali pekan dengan hari Senin, bukan hari Minggu, timing-nya sungguh sangat sesuai 😊.

Ketiga, saya bisa bikin acar banyak-banyak pada akhir pekan lalu di bulan Februari. Karena apa? Saya dan suami saya penggemar acar timun dan wortel! Bikin acarnya banyak banget! Sampai mengerahkan 2 botol cuka dapur, nih. Toples-toples pun pada dikeluarkan semua dari tempat  persembunyiannya penyimpanan. Saking asyiknya bikin acar, tangan saya sampai pegel karena harus potong-potongin wortel berbentuk Julienne. Kalau dalam istilah sekolah perhotelan saya dulu, potongan model korek api ini disebut Julienne, ukurannya 1cm x 1cm x 4cm. Sebenarnya kalau mau buat acar untuk konsumsi sendiri, bisa bebas aja kok, mau potongan Julienne bisa, Bantonnet bisa, Jardiniere pun boleh.

Saking cukup banyaknya saya bikin acar, kulkas kami pun sedikit penuh sesak jadi tempat stok bertoples-toples acar hahaha…. Senangnya punya persediaan sayuran awet yang bisa dimakan antara agak mentah dan agak terfermentasi sedikit alias tahan lama. Rasa sayurnya masih krenyes-krenyes renyah, air acarnya dari cuka pun terasa asam, manis, sedikit gurih. Sungguh nikmat menjadi pelengkap makan nasi dengan telur ceplok sekalipun! Hehehe, rahasia emak-emak irit supaya tetap bisa makan sayur tiap hari. Bahkan saya pun senaaang bisa berbagi setoples-dua toples acar dengan teman-teman di kantor. Ternyata acar buatan saya (cukup) suka dinantikan sama teman kerja. Dimintain buat dibawakan lagi dan lagi. Cihuuy! 🤭

Itu tadi tiga teratas hal-hal menyenangkan yang terjadi di bulan Februari. Selain tiga itu yang masih ada lagi. Salah duanya adalah saya diizinkan oleh tetangga saya, pak Mario untuk menceritakan di blog ini tentang beliau yang hobi main rindik (gamelan bambu) hampir sepanjang hari dan tiap hari. Saya udah ambil foto beliau (senang ternyata beliau nggak keberatan saya ambil fotonya, malah welcome dan terbuka 🤩), bahkan saat saya nulis posting blog ini pun terdengar alunan suara rindik yang dimainkan Pak Mario bersama suara seruling yang dimainkan oleh tetangga lainnya. What a nice traditional music and live! However, that’s another story for the next post, because it could be quite long if I tell about it here.

Dan di bulan Februari ini nilai ujian semester 5 saya keluar, yeay! Saya lulus dengan nilai A semua tiap mata kuliah boleh gaya dong😎. Ini adalah semester yang saya jalani dari awal ketika sudah terjadi pandemi dan kali pertama ujian akhir semester harus dilalui dengan Take Home Exam di Universitas Terbuka. Saya bisa melaluinya dengan baik meski saat ujian server UT sempat down. Tapi saya lulus! Yeah, senangnya tidak ada mata kuliah yang mengulang. Beribu syukur saya ucapkan. Terima kasih bulan yang baik, bulan Februari. Jerih payah saya dari bulan September lalu mengikuti perkuliahan dari tutorial online sampai begadang-begadang ngerjain tugas, dilanjutkan dengan UAS via Take Home Exam secara online pula yang menegangkan pada awalnya, akhirnya terlewati membuahkan hasil yang manis di bulan ini.

Thanks God, Thanks my lovely February💗!
What is the meaning of February to you? What makes it memorable and lovable? Tell me about it, love…

X.O.X.O.
Your loving February girl, Intan.

My Nuclear Family

Hello, ayah, mama, adik… apa kabarnya? Dulu keluarga inti saya terdiri dari kami ber-empat. Ayah, mama, saya dan adik. Sehari-hari ya cuma ada kami berempat isinya sebagai penghuni rumah. Yang saya ingat begitu. Mama pernah cerita bahwa dulu ayah dan mama sempat tinggal di rumah mbah dan pekak di Perak sebelum mereka akhirnya memiliki rumah sendiri. Justru saya nggak ingat masa-masa itu. Karena mungkin saya masih kecil sekali. Yang saya ingat adalah saya tinggal di Sidoarjo bukan di Surabaya.

Bagaimanapun kenangan masa kecil di Surabaya sungguh menyenangkan juga. Saya sering tuh nginep di rumah pekak dan mbah saya di perak, yang mana penghuni rumahnya rame abis dan seru banget diajak main bagi saya yang masih kecil saat itu. Saudara sepupu saya ada tiga yang tinggal dengan pekak dan mbah saya (sebutan untuk kakek dan nenek di Bali atau oleh orang Bali). Ada kakak Ayu sebagai sepupu tertua, Ratih sebagai adik sepupu saya yang anak tengah, dan si bungsu Putra yang juga merupakan cucu termuda dari kakek dan nenek dari mama.

Sudah kebayang kan kenapa dulu masa kecil saya betah sekali minta nginep di Perak? Ya isinya teman main masa kecil saya semua di sana. Bukan main aja, sampai berantem dan nangis-nangis, ledek-ledekan pun pernah. Saya ingat tidak jarang saya berantem sama Ratih yang selisih usianya setahun doang. Bahkan berantem sampai adu fisik sama Putra yang usianya lebih muda 5 tahun dari saya. Adu fisiknya bukan yang gimana sih, tapi kayak saling menggigit aja hahaha. Udah kayak guguk, ya?

Maka dari itu saya lebih dekat dengan keluarga dari mama saya ketimbang dari ayah saya. Bukan pilih-pilih, nih… Tapi ya karena keadaan juga yang mengkondisikan begitu. Dulu saya masih kecil kan juga belum terlalu menentukan pilihan, manut orang tua aja. Mama saya sering ajak saya dan adik saya naik bis buat menengok mbah dan pekak di Perak. Wah saya inget betul kalau mama udah ajak kami naik bis, nanti trus turun di Terawitan, lalu dilanjutkan naik becak sampai ke rumah mbah.

Pulang main di rumah mbah pekak bisa sore menjelang malam, sama naik becak dulu ke jalan besar di Terawitan lalu nyebrang sampai ke depan supermarket apa gitu ya namanya, lupa! Lalu kami bertiga nunggu angkutan umum yang lewat atau bis. Itu ingatan saya waktu kecil. Rasanya main di rumah pekak dan mbah cuma sehari itu selalu singkat, sehingga kadang saya dikasi nginep di sana. Bahkan sampai kurang puasnya nginep cuma beberapa hari, saya sampai niteni a.k.a memperhitungkan di kalender kapan libur sekolah atau tanggal merah terdekat selanjutnya untuk bisa nginep lagi hahaha.

Saya bukannya kurang temen main dengan adanya adik laki-laki saya yang lebih muda dua setengah tahun dari saya dan anak-anak tetangga di komplek rumah orang tua saya, tapi bagi saya, saya tuh udah dari bayi udah kadung ikrib alias akrab sebab udah ada kedekatan emosional gitu sama budhe, saudara-saudara sepupu saya yang tiga bocah ngruntel itu dan juga dekat dengan mbah dan pekak saya. Makanya saya merasa nyaman menghabiskan waktu bersama mereka, dan nggak segan-segan lagi ehehehe.

Kembali lagi, tetap aja keluarga inti saya itu ya cuma berempat, meskipun keluarga saya sebenernya lebarnya sampai meleber kemana-mana dari pihak ibu, juga dari pihak ayah. Dan kadang di rumah itu saya merasa kesepian, meski juga saya bisa asyik dengan dunia saya sendiri saat beranjak dewasa, eh remaja. Ya kadang saya suka main sama adik saya juga. Permainan kami itu kayak ular tangga, monopoli, main rugby-rugby-an, main squash-squashan di teras pakai bola tenis dipantulin ke tembok, main mainan Happy Meals hadiah Mc Donald’s, baca buku cerita, main skateboard, otopet, sepatu roda, dsb.

Semakin remaja semakin terjadi kesenjangan kesepian itu karena udah punya kesukaan masing-masing, kayak selera musik saya dan adik saya beda meskipun ada beberapa yang sama, selera buku udah beda, selera serial TV udah beda, meski masih suka nonton film bareng di rumah. Selera main juga pun mulai beda sehingga teman sepermainannya juga beda di komplek. Adik saya suka main sepak bola dengan anak-anak cowok, sedangkan saya suka latihan ngedance sama anak-anak cewek yang saat itu lagi tergila-gila oleh boyband.

Kalau diingat-ingat lucu juga, karena sebenernya meski menjadi bocah yang pernah merasa kesepian karena merasa saudaranya cuma satu yaitu adiknya yang ada di rumah itu aja, tapi masa kecil saya cukup menyenangkan. Dengan hadirnya sepupu-sepupu saya yang kocak karena kadang mereka suka ngebanyol. Sepupu lain yang saya miliki juga ada Kakak Putu dan Maya yang sama-sama tinggal di Surabaya, tapi intensitas saya bertemu mereka tidak sesering saya menghabiskan waktu dengan kakak Ayu, Ratih dan Putra. Maka dari itu ada sedikit feel yang berbeda dan itu nggak bisa dibohongi, meski saya pun sayang mereka sebagai kakak dan adik sepupu saya juga tapi kan akrabnya beda dari triple bocah yang biasa untel-untelan sama saya.

Sekarang saya sudah mengembangkan keluarga inti sendiri. Saya udah beranjak dari keluarga inti awal saya sebagai anak. Kini saya seorang ibu, seorang mama. Masih sama, sih jumlahnya empat orang anggota aja, karena udah merasa pas. Ada papa, mama, Kalki dan Kavin. Tidak kurang dan tidak lebih itulah keluarga inti saya saat ini. Kalau dikata di dalam Kartu Keluarga, ya nama-nama kami berempat lah yang mengisi lembar KK tersebut. 😊

Kenapa keluarga inti itu berarti bagi saya, karena di situlah tempat bernaung pertama saya, disitulah tempat saya belajar pertama kali. Di dalam nuclear family. Dan di keluarga inti yang saya miliki inilah juga saya belajar bertanggung jawab. Ya, bertanggung jawab sebagai orang dewasa atas keputusan yang telah saya buat. Posisi saya sudah berubah dari yang semula anak jadi seorang istri dan ibu, di sana lah saya belajar transisinya, berproses menjadi manusia dengan tanggung jawab baru, yang tak bosan-bosannya diingatkan oleh suami saya sebagai kepala keluarga.

Saya harap mama, ayah dan juga adik saya tidak merasa kesepian, ya, karena saya telah melangkah meninggalkan mereka untuk step up ke jenjang membentuk keluarga inti yang baru. Merasa rindu boleh, merasa kesepian jangan, karena dulu saya merasakan kesepian itu nggak enak banget. Sampai sekarang pun masih kadang-kadang terasa kesepian menghantui kalau nggak ada suara rindik pak Mario yang syahdu (eh?) dan duo munchkin yang jadi biang keributan rumah 😆. Janganlah merasa kesepian, mari merasa utuh saja.

Salam sayang, Intan.

Nyepi 2020 dan Wabah Covid-19

Kegiatan Nyepi di tahun 2020 kali ini berjalan sangat sepi. Pasalnya rangkaian persiapan menyambut hari raya Nyepi telah diinstruksikan oleh berbagai pemerintah daerah untuk tidak mengadakan kegiatan yang membuat orang berkerumun dan berkumpul dalam jumlah banyak. Di desa saya, sejak tanggal 15 Maret sudah ada himbauan untuk belajar dan bekerja di rumah. Tetapi di kantor desa tempat saya bekerja sebagai kantor pelayanan publik belum menerapkan sistem bekerja dari rumah. Kami para aparat desa dan staf masih masuk seperti biasa dan masih melayani warga di bidang administrasi. Sedangkan di tempat kerja saya di yayasan, les pun diliburkan selama dua minggu.

Meski demikian, kegiatan adat di banjar tetap berjalan hampir seperti biasa untuk kegiatan persiapan Nyepi. Kegiatan ngayah di Pura Puseh Desa Angkah masih berjalan. Memang di desa kami tidak ada kebiasaan membuat dan mengarak ogoh-ogoh, sehingga kami lebih fokus ke persiapan mecaru dan melasti. Bagaimanapun juga kegiatan ngayah itu adalah wadah berkumpulnya banyak orang. Saya sendiri datang ngayah tetapi hanya menyetor urak banten yang menjadi bagian saya. Ngeri juga membayangkan bahwa masyarakat masih mementingkan adat dan kepercayaan mereka daripada logika pencegahan penyebaran virus Corona.

Untuk melasti yang harusnya membawa pratima ke laut, tahun ini telah mendapat instruksi untuk dilakukan di beiji yang ada di desa. Dari surat tersebut maka saya simpulkan kegiatan melasti tahun ini harus dilokalisir hanya di desa pakraman setempat. Biasanya desa kami melakukan melasti hingga ke Pantai Soka dan itu arak-arakannya bisa menggunakan truk, mobil dan motor. Jarak dari desa ke Pantai Soka ada sekitar 10 km. Saya takut juga membayangkan jika melasti berjalan seperti biasa di tengah wabah virus Corona ini, bisa-bisa warga desa kami dari berbagai penjuru yang merantau pada pulang kampung dan ikut melasti. Lalu para umat Hindu jadi satu bertemu di Pantai Soka, karena bukan warga desa kami saja yang melasti ke Pantai Soka.

Akhirnya iring-iringan melasti di Desa Angkah jalan ke Pura Pangkung Sakti sebagai pura segara desa. Pura Pangkung Sakti ini cukup dekat dari Pura Puseh, kurang lebih hanya 1 km. Jadi para pengiring bisa berjalan kaki dari Pura Puseh ke Pura Pangkung Sakti. Saya sendiri tidak ikut melasti, tetapi dari status Whatsapp yang saya lihat dari tetangga saya, ternyata yang ikut banyak juga! Bukannya dari surat edaran bersama dari Gubernur Bali, PHDI Dan MDA, peserta yang mengikuti melasti harusnya dibatasi?

Akhirnya hari Nyepi datang dan saya melakukan aktivitas di rumah saja, seperti yang sudah dilakukan oleh sebagian besar orang sejak datangnya penyakit akibat virus Corona di Indonesia atau sejak himbauan untuk membatasi aktivitas, hingga sekolah-sekolah dan kantor ditutup dan mulai menerapkan belajar dan bekerja dari rumah. Nyepi ini berjalan 24 jam, dari jam 6 pagi pada hari Rabu, 25 Maret 2020 hingga jam 6 pagi pada hari Kamis, 26 Maret 2020. Apa saja yang saya dan anggota keluarga saya lakukan di rumah?

Biasanya saya puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam, tetapi karena saya sedang tidak fit akibat sakit tenggorokan seperti kena flu, maka puasa tidak saya lakukan. Sebenarnya saya suka dengan konsep puasa untuk mendetoksifikasi badan dan saluran pencernaan saya, maka kali ini yang saya lakukan adalah membatasi makan dengan minum air putih dan makan buah saja. Selama hari Nyepi saya hanya makan buah pepaya dan buah naga serta minum air putih. Tidak makan yang lainnya.

Pukul 05.30 WITA saya bangun lalu minum air putih dilanjutkan dengan mandi. Setelah mandi, saya membuka halaman tutorial online untuk kuliah saya sampai pukul 06.15 WITA halaman tuton masih bisa diakses lalu akhirnya melambat dan terhenti. Akhirnya saya melanjutkan dengan kegiatan menulis blog tentang pengalaman saya, yang akan saya posting setelah post ini.

Lalu pukul 8.00 WITA saya melakukan latihan otot perut dengan aplikasi di HP yang bernama Abs Exercise selama 25 menit. Saya melakukan olah raga ditemani oleh Kalki, dia menghitung berapa jumlah repetisi yang saya lakukan. Saya sangat senang dan terbantu sekali dengan bantuan Kalki sehingga saya bisa fokus ke pernapasan dan otot tanpa lupa hitungan. Di sisi lain, adik Kavin sedang menggambar menggunakan Paint di laptop.

Pukul 09.00 WITA saya makan buah pepaya dan minum air putih. Setelah itu bercengkrama dengan anak-anak dan mengajak mereka belajar.

Pukul 10.00 WITA saya membaca buku kuliah Pengantar Statistik Sosial. Saya pikir kok relevan sekali dengan adanya wabah penyakit COVID-19 saya jadi banyak membaca data statistik di media.

Pukul 11.00 WITA anak-anak makan siang, sedangkan saya makan buah naga. Setelah itu saya ajak mereka untuk tidur siang. Eh, ternyata yang berhasil diajak tidur siang hanya Kalki, sedangkan Kavin masih asyik bermain dengan papa.

Pukul 13.00 WITA saya bangun tidur siang tetapi Kalki masih terlelap. Saya pun bangun untuk makan buah Pepaya dan ngobrol dengan suami.

Pukul 14.00 WITA saya kembali membaca buku modul Pengantar Statistik Sosial dan mengerjakan latihan soal hingga akhirnya menyelesaikan modul 2.

Pukul 16.15 WITA Saya selesai membaca buku materi kuliah dan ke halaman rumah untuk memandikan anjing peliharaan saya, Golden. Saat mau memandikan Golden, ternyata Kalki sudah bangun dari tidur siang dan ikut membantu memberi shampoo pada si guguk.

Pukul 17.00 WITA memandikan anak-anak.

Pukul 17.30 WITA saya melakukan yoga Surya Namaskar 12 putaran.

Pukul 18.00 WITA saya mandi. Lalu makan buah naga bersama Kavin. Dan anak-anak pun makan soto ayam dan ketipat yang udah dipersiapkan sehari sebelum Nyepi. Lalu saya belajar kembali, kali ini materi Writing 4, Unit 1 tentang Prewriting.

Menjelang malam, welcome to the absolute darkness! Saya selalu suka dengan gelap gulitanya malam Nyepi, karena saya bisa lihat bintang di langit.

Pukul 19.30 WITA Saya ajak anak-anak lihat bintang dari halaman. Saya pun berbincang-bincang dengan suami sambil mengagumi indahnya bintang. Saya bergumam, “kira-kira di tata bintang lainnya ada peradaban tidak ya seperti di tata surya kita? Planet kita sedang diserang wabah Corona.”

Suami saya menjawab, “Bintang di luar angkasa itu jumlahnya lebih dari jutaan, ya kemungkinan dari jumlah sekian bisa terdapat peradaban seperti di tata surya kita.”

Saya berkata sambil menerawang ke bintang yang bertaburan di bagian langit selatan, “bagaimana ya keadaan peradaban di luar sana?”

“Kurang lebih ya sama seperti peradaban kita.” Kata suami saya.

“Pengen tau bagaimana tingkat peradabannya, spesiesnya, dan keadaan alam planetnya.” Jawab saya sambil berlalu menyudahi menikmati bintang di angkasa.

Saat melihat bintang, Kalki dan Kavin juga bergumam terpesona dengan indahnya kelap-kelip cahaya di angkasa. Tetapi Kalki dibarengi dengan tingkah polahnya lompat-lompat dan ambil posisi berdiri sambil setengah jungkir-balik di atas rumput halaman.

Pukul 20.00 WITA Saya gosok gigi, anak-anak pun demikian, lalu kami sekeluarga bercengkrama di dalam tenda yang telah dibuatkan suami untuk anak-anak di ruang keluarga. Tendanya terbuat dari pondasi 4 buah kursi dan bangku panjang sebagai tulang atap lalu ditutup oleh sprei. Tenda ini sudah dibuat dari sebelum hari Nyepi untuk wahana bermain anak-anak supaya mereka tidak bosan.

Sudah bikin tenda sehari sebelum Nyepi

Dari yang awalnya tenda hanya beralaskan matras Kalki dan Kavin, hingga pas hari Nyepi tenda tersebut sudah dilengkapi kasur. Kata suami, semalam sebelumnya Kavin minta tidur di tenda, tapi karena hanya beralaskan matras, badan suami saya jadi sakit semua. Saat suami kesakitan badannya tidur di lantai beralaskan matras, dia minta pindah ke kamar, tetapi Kavin nggak ngasih! Pas suami nanya, “Kavin badannya sakit nggak, tidur disini?”, Kavin menjawab, “Enggak.”

Kegiatan anak-anak di malam hari sebelum Nyepi, Selasa 24 Maret 2020

Akhirnya malam penghujung hari Nyepi saya yang diajak Kavin untuk tidur di tenda, sedangkan Kalki dan suami tidur di kamar. Begitulah saya dan keluarga menjalani hari Nyepi dan memaknainya. Saya berusaha memaknai hari Nyepi sebagai hari untuk merefleksikan diri dan berkontemplasi. Saya juga sempat memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai apa itu hari Nyepi dan apa yang sebaiknya dan tidak sebaiknya mereka lakukan pada hari Nyepi. Tapi ya namanya anak-anak, mereka masih aja suka bermain sambil teriak-teriak heboh dan ketawa cekikikan keras.

Keadaan selama hari raya Nyepi sebagai hari tahun baru Saka Umat Hindu memang dirayakan dengan tenang dan menyepi diri dari kehingar-bingaran atau pesta. Saya maknai tujuannya adalah menjauhkan diri dari keduniawian atau hedonisme sejenak. Tidak boleh bekerja, tidak boleh menyalakan api, tidak boleh bepergian dan tidak boleh mencari hiburan. Keadaan seperti itu adalah kesempatan untuk berhenti dari kesibukan yang sudah terpola bagi manusia masa kini hidup di dunia. Itulah kesempatan untuk menenangkan diri dan merenungkan kehidupan. Menghubungkan diri dengan alam dan Tuhan secara spiritual.

Maka selama Nyepi kali ini, hampir tetap saya berjalan seperti sebelumnya, yaitu tidak ada siaran televisi, tidak ada akses internet, tetapi aliran listrik tetap ada. Suara kendaraan bermotor di luar pun sama sekali tidak ada, tidak ada suara anak-anak bermain di jalan, dan tidak ada tetangga yang menyetel musik keras-keras atau pun memainkan alat musik rindik. Semuanya hening.

Keadaan Nyepi di Bali lebih ketat dari pada Nyepi di Jawa. Saya ingat dulu waktu masih merayakan Nyepi di Jawa, saat saya masih kecil masih bisa nonton TV di rumah dengan mama dan adik saya. Mau keluar rumah pun tidak takut ada pecalang yang akan menegur. Saat masih kecil mama saya selalu menyediakan stok makanan dan cemilan-cemilan untuk anak-anaknya. Tetapi semakin besar semakin diajarkan untuk berpuasa seharian oleh orang tua dan oleh guru agama di sekolah.

Kini saya sudah 8 kali merayakan Nyepi di Bali sejak menikah tinggal di Bali, dan hingga Nyepi kali ini, menyalakan kompor dan lampu masih saya lakukan di rumah untuk keperluan yang penting. Tapi kami tidak membuat masakan apa-apa, hanya menghangatkan masakan yang sudah dipersiapkan dari hari sebelum Nyepi. Karena bagi saya mematikan api bagian dari catur brata penyepian adalah mematikan api yang di dalam diri sendiri, bukan hanya secara simbolis mematikan api kompor dan api penerangan di rumah. Dan yang paling tau mengenai rumah terkecil kita yaitu badan kita tempat jiwa bernaung adalah diri kita sendiri.

Pagi hari Ngembak Geni, Kamis, 26 Maret 2020

Selamat Tahun Baru Saka 1942~

♡ Intan Rastini

Learning How to Ride a Bicycle

Last Indonesian Mother’s day, 22th of December 2018, there was a lovely gift from my first son. He was learning to ride a bicycle and then he was able to cycle by his own! Without any extra side wheels. It was my husband who led him to practice cycling.

The days before, he tried to ride his bicycle. It was his own initiative to take the bicycle after a long time he never tried cycling again. He stopped cycling since the extra wheels for his bike was taken out. Looking Kalki was trying to ride his bicycle, my husband then helped him to learn.

Kalki took 3 days to learn cycling until he became confident to ride on his own. He learned cycling at our front yard. When my husband no longer held the bicycle for the first balance, Kalki got on his bicycle by the help of our terrace step. Then he could make it, cycling around.

It was a perfect present for me on the mother’s day. As a mother of course I felt proud to Kalki. Kalki was 5 years old 7 month and he has been able to ride a bicycle… I am very happy everytime I see him cycling. He feels happy too that he can ride a bicycle! Because our front your doesn’t have enough space for him cycling, we went to his kindergarten’s yard so he could practice at a wide yard.

Once I ran with Kalki riding his bicycle. It was fun and challenging because our village is hilly and the road is either going up or down. Going uphill is hard, on the other hand going downhill is dangerous. On the uphill and downhill roads I asked Kalki to walk but on some downhills I let him to ride his bicycle and use the brakes. It was difficult to maintain the brakes during sliding through the downhills so Kalki bumped to a house’s wall, haha don’t worry he was fine. He enjoys the experience and he wants more! He asked me, “mama, when are you going to run again? Because I want to join you by riding my bicycle.” Well, his bike’s brake and chain are broken now so he cannot join me.

I also would like to share my childhood story. I think this one will be interesting to tell.

When I was young, I always wanted to learn how to ride a bicycle. I was a very young kid. Maybe about 5 years old. At that time my parents already bought me a small bicycle but there were two extra wheels to keep my balance. Next stage, my parents taught me how to ride a bicycle without any extra wheels. At first, my father tried to give only one extra wheel. He handled my bicycle and let me try to paddle on my own until I could get my balance.

I kept practicing how to ride a bicycle until I was confident enough and my parents thought that I would be able to paddle a bicycle without an extra wheel. So again, my father took off the remaining extra wheel on my bike. He was always there to help me while I practiced riding a bicycle. He handed my bike for the first time and when I could paddle with balance, he let me go riding away. We repeated this way until I could handle my bike in the beginning for myself.

I felt so excited when I could ride a bicycle by myself. It was almost felt like I was flying and free. When a small kid eventually could ride a bicycle on her own she became addicted to riding her bicycle again, and again and again. I rode my bicycle around my house in the neighborhoods. Sometimes I went quite far so that my mother worried about me because it took a long time for me to come back home. Later on, my parents allowed me to ride my bicycle to school in elementary school. I really enjoyed it. I even gave a ride to my little brother when I went to school by bike because we went to the same school. We went to school together by bike, my little brother sat on the back as my passenger.

♥️ Intan Rastini

Swimming at Lovina Beach

I and my husband have been invited three times to come to Singaraja. The invitations were for a wedding ceremonies and a blessing ceremony for the newborn baby. Those were the wedding of my husband’s cousins in Singaraja, they are brothers. The first wedding was held for the younger brother then the ceremony for the newborn baby, and next was a wedding for the older brother.

The wedding was held in Balinese tradition and it was a sacred ceremony in a lifetime. We wished our cousin and his bride to be happy and to have a long-lasting marriage. I also would never forget the moment when I was married to my husband so I believed for everybody, a wedding ceremony would be a tearful yet full of happiness moment.

Because of the wedding was held in Singaraja, it took us about 2 hours to get there by motorbike. When we arrived at Singaraja, I didn’t want to miss the chance to swim at the Lovina beach as well. The journey made us pass the hills from Tabanan and then arrive at the northern seashore of Bali. Bali beaches on the north are very calm with small waves, unlike the southern beaches. So I was brave enough to swim there. It was a great moment to swim at the calm sea without being afraid of the big waves. Of course, you had to be able to swim if you wanted to swim in the sea. I even tried to dive from the dock.

Well, I really enjoy swimming in the northern Bali sea. To me it’s a precious moment. However, before I got married, when I was still in relationship with my husband, we also reached to the north Bali, to Git Git Twin Waterfall then Lovina beach. Yeah we had swum there once before we got married. It is because my husband who told me that he used to swim there when he was on the job training at Pizza House Restaurant.

Between swimming in the sea and in the swimming pool, I think I like it swimming in the sea better than in the pool. But to get access to the calm sea in the north is such an effort. There are some other foreign tourists who swim in the sea besides me. Most local people don’t swim at Lovina beach. Maybe Indonesian people prefer swimming in the pool and when they go to the beach they play on the seashore with the sand and the waves.

Always bring your bento and drinking bottle to the beach

Happy holiday!

And I feel terribly sorry for some Indonesians who underwent a natural disaster Tsunami in Anyer, Banten and Lampung. May God always be with us. Keep being strong.

❤️ Intan Rastini