Mr Mario My Musician Neighbor

Saya kagum mengetahui ada seseorang yang begitu cinta dan passionate terhadap suatu kegiatan. Saking sukanya, sampai kegiatan itu dilakukan pagi, siang, sore, dan malam. Hampir setiap hari dan hampir sepanjaaaang hari. Orang tersebut tidak jauh-jauh adalah tetangga saya sendiri di sebelah utara rumah. Beliau adalah pak Mario yang hobi bermain alat musik tradisional Bali bernama rindik. Rindik ini adalah alat musik pukul yang terbuat dari bambu.

Pak Mario adalah seorang petani biasa yang hidup sederhana. Tetapi beliau sukses membuat hari-hari saya selama tinggal di desa ini jadi lebih ceria dan tidak merasa sendirian. Saya akan ceritakan awal mulanya sedikit, ya. Dulu waktu saya masih pacaran sama suami saya, saya beberapa kali pernah main ke kampung halaman pacar saya. Dari situ saya udah mendengar ada permainan alat musik bambu yang jarak sumber suaranya itu tidak jauh dari rumah pacar saya.

Sampai setelah menikah, dan saya menetap di rumah yang berada di kampung halaman suami saya ini, suara permainan musik pak Mario bisa semakin rutin saya dengarkan. Dari awal pagi, bisa mulai pukul setengah 6 pagi saya sudah bisa mendengarkan suara rindik ini. Di awal pagi bisa terdengar terus sampai siang. Kadang hanya terdengar sampai sekitar pukul 8 atau 9 pagi, karena mungkin pak Mario lanjut bekerja ke ladangnya. Nanti setelah jam makan siang bisa terdengar lagi alunan rindik hingga sore. Dan terus terdengar sampai malam  sekitar pukul 10 WITA.

Sebagian besar yang bisa saya dengar alunan musik rindik itu dimainkan sepanjang hari dan hampir tiap hari. Memang orang di desa ini bukan hanya pak Mario saja yang suka bermain rindik, tetapi suara rindik pak Mario lah yang paling dekat dengan rumah saya dan paling rutin terdengar. Alunan musik rindik ini merupakan hiburan gratis yang menyenangkan bagi saya. Benar-benar membuat hidup suasana desa tempat tinggal saya yang menurut saya sangat sepi, apalagi jika dibanding dulu saya tinggal di kota.

Dulu saat saya habis melahirkan lalu menyusui bayi saya, saya selalu merasa kesepian. Karena menjadi ibu baru itu rasanya seperti terisolasi dari kehidupan sosial, ditambah saya tidak punya teman di lingkungan tempat tinggal baru saya ini maka makin tambah menjadi-jadi rasa kesepiannya. Namun sayup-sayup selalu terdengar suara permainan rindik pak Mario dan itu menenangkan dan menghibur hati saya. Melalui alunan suara rindik tersebut, saya jadi selalu merasa seolah pak Mario menyampaikan pesan melalui permainan musiknya, “Ada saya di sini menemani mu”.

Bagaikan pelipur lara yang rendah hati dan tulus menghibur siapa pun yang mendengar suara permainan rindiknya, pak Mario masih tetap saja memainkan alat musik rindiknya sesuka hati, kapan pun beliau mau. Saat menuliskan posting blog ini pun saya sambil mendengarkan suara rindik yang dimainkan oleh pak Mario dan juga diiringi suara seruling yang ditiup oleh tetangga saya lainnya. Memang biasanya pak Mario bermain rindik secara solo sehari-hari, tetapi kadang juga terdengar ada sesi duet dengan permainan seruling tetangga sebelah rumahnya.

Pak Mario itu membuat sendiri rindik dari bambunya. Bahkan pada hari saya mendatangi rumahnya, pagi-pagi setelah saya selesai belanja di tukang sayur depan rumah, saya masih melihat pak Mario bermain rindik dengan perkakas berceceran di sebelahnya. Nampaknya pak Mario baru saja mengasah ulang atau memperbaiki rindik kesayangannya. Saat saya pergi belanja ke depan rumah, saya mendengar permainan rindik beliau, maka saya memberanikan diri tidak pulang setelah selesai membeli sayur dan lauk, melainkan melangkah terus melewati rumah saya dan masuk ke pemesuan (jalan setapak ke arah rumah) pak Mario.

Kenapa saya bilang memberanikan diri? Karena saya sudah lama ingin tulis cerita tentang tetangga saya yang hobi main rindik ini sejak lama, ingin menyertakan foto juga dalam cerita yang akan saya buat. Tetapi saya malu dan takut ditolak pak Mario dalam meminta izin untuk mendokumentasikan beliau. Nggak taunya pak Mario sangat welcome, lho. Jadi saya senang!

Saya datang dan menginterupsi pak Mario yang sedang bermain rindik di beranda bangunan ruang dapurnya. “pak, boleh saya ambil foto bapak main rindik, untuk buat cerita?”

Pak Mario mengizinkan saya untuk memotret dirinya. Bahkan beliau menganjurkan dari sudut mana saya sebaiknya mengambil foto :D. Bahkan menawarkan apakah rindiknya perlu diubah posisinya. Maka saya jawab, “Oh, tidak usah, saya mau foto seperti biasanya bapak main rindik saja.”

Setelah mengambil beberapa jepretan, men Mario datang dan menanyakan ada apa. Saya jawab bahwa saya ingin mengambil foto untuk membuat cerita tentang pak Mario yang suka main rindik. Kemudian men Mario masuk menuju ke dapur hendak melanjutkan aktivitasnya untuk memasak. Saya sempat bercakap-cakap dengan men Mario sebelum akhirnya berterima kasih dan pulang. Saat saya pamit dan bergegas pulang ke rumah di sebelah pun pak Mario tidak berhenti memainkan rindiknya.

Beliau begitu jago memainkan alunan isntrumental rindik. Biasanya yang dimainkan bertempo cepat meski pernah juga memainkan suatu musik dengan tempo yang lebih lambat. Saya juga pernah mendapati beliau memainkan lagu yang saya kenal dari Jawa, yaitu lagu “Gundul Gundul Pacul” dan lagu lainnya yang saya lupa namanya. Hati saya begitu terhibur mendengarnya. Mengingatkan akan masa kecil saya yang saya habiskan di Jawa hingga akhirnya saya menikah dan menetap ke Bali. Sisanya pak Mario memainkan alunan musik Bali yang tidak saya kenal, tapi akhirnya khas saya dengar dari permainan beliau.

Kembali saat saya baru melahirkan anak pertama saya, Kalki. Ayah dan mama saya datang untuk menengok dan menemani hari-hari saya sebagai ibu baru. Saya sempat cerita mengenai pak Mario kepada ayah saya, bahwa saya mendengarkan alunan musik rindik selama tinggal di sini. Saya akhirnya menanyakan kepada ayah apa tidak mau berkunjung ke rumah pak Mario karena ayah kan juga suka main rindik. Eh, nggak taunya beneran malam itu ayah saya main ke rumah pak Mario dan kata ayah saya mereka ngobrol sambil sebentar-sebentar main rindik. Ayah pun baru pulang dini hari dari rumah tetangga saya itu.

Sejak saat itu, kalau saya bertemu pak Mario kurang lebih yang ditanyakan kepada saya adalah, “ayahnya nggak pulang* ke sini?”

Jika saya jawab pulang kapan hari, pasti akan lanjut ditanya, “Kok nggak ada main ke sini (maksudnya ke rumah pak Mario)?”

Saya cuma bisa tersenyum 😊.

Ya, ayah saya bisa main rindik tetapi tidak sejago pak Mario. Saya sendiri tidak jago memainkan alat musik. Main rindik tidak bisa. Tetapi kalau Kalki atau Kavin tertarik untuk belajar memainkan rindik atau membuat rindik dengan pak Mario saya mau saja persilakan mereka belajar kepada beliau. Saya pernah sih, ajak anak-anak saya main ke rumah pak Mario sesekali. Saya udah dorong-dorong adik atau kakak untuk coba memainkan rindik pak Mario, bahkan pak Mario sendiri juga sudah mempersilakan. Tapi anak-anak saya agak malu-malu hihihi… Oleh Kalki memang beneran dicoba untuk dipukul rindiknya sebentar aja.

Di dusun lain (dusun lebih kecil dari desa), yaitu di bale bengong sederhana buatan kelompok wisata di desa saya… bale bengong itu seperti tempat duduk-duduk atau tempat bengong-bengong (maka dari itu namanya bale bengong) dari kayu… di sana disediakan rindik pula untuk dimainkan oleh siapa saja yang mau melepas penat di bale bengong tersebut atau untuk sekedar nongkrong. Kadang rindik itu menganggur, kadang ada yang bapak-bapak yang memainkannya. Kalki dan Kavin suka asal pukul dengan bebas bilah-bilah rindik tersebut. Kalau ada bapak-bapak yang sedang memainkannya, bakalan dilihatin oleh mereka sebentar (kalau kebetulan kami lagi main ke sana) 😊.

Terima kasih, ya, pak Mario telah menemani hari-hari saya dengan permainan alat musik traditional bapak yang alunannya indah. Teruslah berkarya, pak. Semoga nanti Kalki dan Kavin ada minat memperdalam ilmu bermain alat musik tradisional karena orang tuanya nggak bisa ngajarin sama sekali, cuma bisa menikmati saja hahahaha 😅.

Baca juga cerita tentang anak pak Mario (makanya dipanggi pak Mario, karena nama anak pertamanya adalah Mario): Just Married: Mary n’ Mario yang pernah saya tulis awal tahun 2014 lalu.

❤ Intan Rastini.

*Orang Bali yang merantau ke luar Bali, selalu diistilahkan ‘pulang’ jika mengunjungi Bali, karena Bali adalah kampung halamannya.

My Lovable February 💗

Bulan Februari adalah bulan terfavorit saya dalam satu tahun. Alasannya karena bulan ini sungguh spesial dari bulan lainnya. Coba cek di kalender, dalam satu bulan, Februari lah yang memiliki jumlah hari terpendek yaitu 28 hari. Hanya setiap 4 tahun sekali Februari bisa berjumlah 29 hari yaitu pada tahun kabisat. Bulan Februari adalah bulan khusus juga buat anak usia dini, seperti Kavin si bungsu. Sebab bulan Februari ini adalah masanya pemberian vitamin A dan obat cacing, baik untuk balita di posyandu juga bagi anak usia prasekolah di Kelompok Belajar maupun Taman Kanak-kanak.

Alasan selanjutnya adalah karena bulan Februari adalah bulan kelahiran saya serta juga terdapat hari perayaan ulang tahun pernikahan orang tua saya. Budhe, kakak dari mama saya, yang paling dekat dengan saya pun berulang tahun tiap akhir bulan Februari di tahun kabisat. Pakde saya juga berulang tahun di bulan ini. Begitu juga dengan adik sepupu saya Putu Eka di Sekartaji. Bahkan ponakan-ponakan saya ada 3 anak yang berulang tahun di bulan ini! Yaitu Qia, Shan dan Iqbal. Lumayan banyak juga ya bagian dari keluarga saya yang merayakan hari lahirnya di bulan ini, sampai saya juluki kami adalah the February kids 😄 Saya ikutan doongg, kan masih tergolong kid 😚😆. Selain itu bulan Februari juga menjadi tuan rumah bagi Tahun Baru Imlek dan hari kasih sayang atau hari Valentine. Sehingga lengkaplah sudah saya nobatkan Februari sebagai bulan kasih sayang.

Hal-hal yang bisa saya syukuri selama menikmati bulan Februari tahun 2021 ini cukup banyak, untuk tiga teratas yang perlu saya highlight adalah…

Pertama, saya bisa merayakan ulang tahun saya bersama suami dan kedua anak saya, Kalki & Kavin. Meski merayakan di rumah saja, tapi saya senang. Pagi-pagi saya bisa bangun pagi untuk masak makanan enak buat sekeluarga. Masakannya biasa aja, kok. Masakan rumahan. Saya masak tahu Lombok (tahu susu yang lembut) dan kentang dipotong dadu, digoreng, lalu ditumis pakai tomat dan wortel. Hmm, yumm… saya masih inget betapa enaknya hahaha… Karena kami sekeluarga suka masakan itu. Melihat masakan saya matang saat itu saja suami saya sudah merasa lapar dan tergugah tidak sabar untuk sarapan. Hmmm… 🤤

Sehabis pulang kerja, saya pun mendapat kejutan dari suami dan anak-anak. Mereka udah bikin roti buat ulang tahun mamanya. Rotinya diulenin dan dibentuk lucu-lucu gitu. Isinya ada prune dan keju. Karena nggak pakai oven, jadinya yang dibikin papa Kalki & Kavin adalah roti kukus, rotinya mirip bakpao tapi bentuknya unik-unik! Saya pun mendapat kartu ucapan dari Kalki & Kavin juga hadiah berupa jedai berwarna hitam dari mereka, duh makasih love! Kami pun makan roti kukus bareng ditemani tepache yang sudah saya siapkan 3 hari sebelumnya 😊.

Kedua, saya dapat kesempatan untuk latihan yoga dan meditasi dari Phisi yoga dan Andiappan Yoga Community secara rutin. Dalam bulan Februari ini saya mulai intensifkan latihan secara mandiri melalui Peace Sea Podcast yang bagian Trilogy: Compassion, Forgiveness, Surrender. Per tema meditasi yang dipandu oleh Pishi, dilakukan sendiri tiap minggu. Compassion untuk sepekan dimulai dari Senin yang pas banget bertepatan pada tanggal 1 Februari hingga Minggu tanggal 7 Februari. Selanjutnya saya latihan meditasi bagian Forgiveness dari tanggal 8 Februari hingga 14 Februari. Dan dilanjutkan latihan meditasi bagian Surrender pada tanggal 15 Februari hingga 21 Februari.

Maka saya harus bangun jam 4 pagi tuh untuk latihan meditasi lalu tiap habis meditasi dilanjutkan latihan yoga Surya Namaskara. Minggu ini sebagai minggu ke-4, mulai Senin, 22 Februari saya latihannya mixed, tema Compassion, Forgiveness, Surrender masing-masing 2 kali selama 6 hari lalu ditambah bonus 1 sesi meditasi tema Surrender untuk tanggal 28 Februari. Kok, ya pas banget kan, program latihannya memang 4 minggu atau 28 hari yang satu bulan hanya ada di bulan Februari. Dan bulan Februari ini tanggal 1 dimulai dengan hari senin. Bagi saya yang memang suka mengawali pekan dengan hari Senin, bukan hari Minggu, timing-nya sungguh sangat sesuai 😊.

Ketiga, saya bisa bikin acar banyak-banyak pada akhir pekan lalu di bulan Februari. Karena apa? Saya dan suami saya penggemar acar timun dan wortel! Bikin acarnya banyak banget! Sampai mengerahkan 2 botol cuka dapur, nih. Toples-toples pun pada dikeluarkan semua dari tempat  persembunyiannya penyimpanan. Saking asyiknya bikin acar, tangan saya sampai pegel karena harus potong-potongin wortel berbentuk Julienne. Kalau dalam istilah sekolah perhotelan saya dulu, potongan model korek api ini disebut Julienne, ukurannya 1cm x 1cm x 4cm. Sebenarnya kalau mau buat acar untuk konsumsi sendiri, bisa bebas aja kok, mau potongan Julienne bisa, Bantonnet bisa, Jardiniere pun boleh.

Saking cukup banyaknya saya bikin acar, kulkas kami pun sedikit penuh sesak jadi tempat stok bertoples-toples acar hahaha…. Senangnya punya persediaan sayuran awet yang bisa dimakan antara agak mentah dan agak terfermentasi sedikit alias tahan lama. Rasa sayurnya masih krenyes-krenyes renyah, air acarnya dari cuka pun terasa asam, manis, sedikit gurih. Sungguh nikmat menjadi pelengkap makan nasi dengan telur ceplok sekalipun! Hehehe, rahasia emak-emak irit supaya tetap bisa makan sayur tiap hari. Bahkan saya pun senaaang bisa berbagi setoples-dua toples acar dengan teman-teman di kantor. Ternyata acar buatan saya (cukup) suka dinantikan sama teman kerja. Dimintain buat dibawakan lagi dan lagi. Cihuuy! 🤭

Itu tadi tiga teratas hal-hal menyenangkan yang terjadi di bulan Februari. Selain tiga itu yang masih ada lagi. Salah duanya adalah saya diizinkan oleh tetangga saya, pak Mario untuk menceritakan di blog ini tentang beliau yang hobi main rindik (gamelan bambu) hampir sepanjang hari dan tiap hari. Saya udah ambil foto beliau (senang ternyata beliau nggak keberatan saya ambil fotonya, malah welcome dan terbuka 🤩), bahkan saat saya nulis posting blog ini pun terdengar alunan suara rindik yang dimainkan Pak Mario bersama suara seruling yang dimainkan oleh tetangga lainnya. What a nice traditional music and live! However, that’s another story for the next post, because it could be quite long if I tell about it here.

Dan di bulan Februari ini nilai ujian semester 5 saya keluar, yeay! Saya lulus dengan nilai A semua tiap mata kuliah boleh gaya dong😎. Ini adalah semester yang saya jalani dari awal ketika sudah terjadi pandemi dan kali pertama ujian akhir semester harus dilalui dengan Take Home Exam di Universitas Terbuka. Saya bisa melaluinya dengan baik meski saat ujian server UT sempat down. Tapi saya lulus! Yeah, senangnya tidak ada mata kuliah yang mengulang. Beribu syukur saya ucapkan. Terima kasih bulan yang baik, bulan Februari. Jerih payah saya dari bulan September lalu mengikuti perkuliahan dari tutorial online sampai begadang-begadang ngerjain tugas, dilanjutkan dengan UAS via Take Home Exam secara online pula yang menegangkan pada awalnya, akhirnya terlewati membuahkan hasil yang manis di bulan ini.

Thanks God, Thanks my lovely February💗!
What is the meaning of February to you? What makes it memorable and lovable? Tell me about it, love…

X.O.X.O.
Your loving February girl, Intan.

Acar Timun Wortel – Cucumber Carrot Pickle

Bahan:

1. Timun 1/2 buah cuci bersih
2. Wortel 1 buah cuci bersih
3. Bawang Merah atau Bawang Bombay
4. Cuka Dapur
5. Gula Pasir
6. Garam
7. Cabe jika suka

Cara Membuat:

1. Pada wadah toples kaca atau mangkok buat larutan cuka dapur dengan air dengan perbandingan 1:4 (cuka:air). Untuk acar dalam porsi kecil saya pakai 4 sendok teh cuka dicampur 16 sendok teh air, atau 2 sendok makan cuka ditambah 8 sendok makan air. Kalau mau buat porsi besar tentu bisa ditambahkan volumenya, tinggal berpatokan pada rasio yang sama antara cuka dan air. Tetapi jika masih terlalu kuat rasa cukanya, bisa dilebihkan tambahan airnya.

2. Setelah larutan cuka sudah jadi, tambakan gula pasir sebanyak 6 sdt atau 4 sdm dan 1/4 garam. Aduk rata. Bisa dicicip dulu bagaimana rasa air cukanya, jika dirasa kurang manis, bisa ditambahkan lagi dengan gula. Memang wajar pakai banyak gula, karena nanti diisi sayuran akan jadi air rendaman dan rasanya akan tidak semanis sebelumnya.

3. Setelah larutan cuka sudah siap dan gula sudah larut semua di dalamnya, silakan siapkan toples kaca bertutup untuk wadah acar sayurannya.

4. Potong wortel menjadi bentuk korek api, dadu atau bentuk balok sesuai selera. Jika mau dikupas kulitnya silakan, jika tidak juga tidak apa. Saya biasanya menggunakan wortel tanpa dikupas kulitnya.

5. Kupas kulit timun, atau kupas secara parsial (setengah saja, tidak terkupas secara menyeluruh, tapi selang-seling gitu), biasanya saya menggunakan peeler. Lalu potong-potong timun berbentuk balok. Kumpulkan potongan sayur wortel dan timun jadi satu pada wadah.

6. Kupas bawang merah, jika menggunakan bawang merah tidak perlu diiris, biarkan utuh per siung. Jika menggunakan bawang bombay, kupas lalu iris hingga terpotong-potong.

7. Bisa dicampurkan merata terlebih dahulu antara bawang bombay, wortel, dan timun sebelum masuk toples, atau dituangkan satu per satu sehingga bertumpuk per jenis. Setelah siap, potongan sayur dan bawang bisa dimasukkan wadah toples. Jika Anda suka cabe, silakan dimasukkan juga secara utuh tanpa diiris.

8. Tuang air larutan cuka tadi ke dalam toples yang berisi sayur sampai ¾ sayuran terendam air cuka atau hingga permukaan sayur tertutup air cuka juga boleh. Karena acarnya berisi timun, nanti air cukanya bisa nambah dari air yanng ada dari dalam timun. Maka dari itu kalau saya bikin acar cuma pakai wortel dan bawang bombay saya bisa isi larutan cuka sampai permukaan sayur, tetapi jika sudah pakai timun, tuang larutan cuka tidak sampai penuh pun tidak apa-apa.

9. Acar bisa disimpan dengan dimasukkan ke dalam lemari es, atau ditaruh di suhu ruang selama 24 jam. Bisa dinikmati langsung atau untuk keesokan hari. Saya biasanya nyetok acar sampai banyak banget dan bisa sampai seminggu disimpan di lemari es.

You can always also just try and taste the vinegar solution mixed with sugar and salt!

Selamat mencoba.

Catatan: Acar terbanyak yang saya buat bisa sampai menggunakan 120 ml cuka : 480 air. Tapi tidak perlu berpatokan pada rasio terlalu ketat, karena cuka terasa masih agak pekat dan kuat, saya bisa pakai 120 ml cuka dengan ditambahkan air menjadi sekitar 500-an ml. Dan penggunaan gula pasir bisa sampai 15 sendok makan. Garam ¼ sendok makan, dan itu tetap dicicip dulu, udah pas atau belum rasa air cukanya, kalau udah pas baru campurkan ke sayuran. Karena pernah saya udah campurkan larutan cuka ke sayuran eh, ternyata kurang manis.. Jadi perlu nambah gula, tapi udah kadung susah buat diaduk karena berisi potongan sayuran di toples.

Selama ini saya bikin acar wortel dan timun selalu pakai gula pasir, belum pernah coba pakai gula lainnya, macam gula batu atau gula stevia. Jadi jika Anda ada masalah kadar gula dalam darah, lebih baik dimoderasi memakan acarnya.

Saat saya sedang membuat acar porsi banyak, biasanya saya buat di saat akhir pekan. Kakak Kalki waktu itu membantu mamanya yang sedang mebuat acar partai besar. Sambil membantu menuang larutan cuka, saya berkata, “Acar Kalki. Kalki’s Pickles.”

Sambil masih membantu menuang larutan cuka ke tiap toples berisi potongan sayur, Kalki menjawab, “Kalki suka ‘Acar Kalki‘.” 😊

Oh, ternyata dia suka itu sebutan acar Kalki-nya. Setelah sudah siap disajikan, kakak Kalki memang suka makan nasi dengan acar sebagai tambahan bersama lauk dan sayur lain yang sedang dimakan. Acar itu memang cocok dimakan sebagai pelengkap untuk nasi goreng, mie goreng, martabak telur, bahkan saya makan dengan keripik talas yang gurih dan krispi dicampur acar begitu saja rasanya enak banget! Makan nasi dan telur ceplok goreng ditambah acar pun nikmat, yum! Memang rasa asam manis yang segar dari air acar dan tekstur potongan sayur yang masih kres-kres itu dapat makin menggugah selera makan.

Siapa penggemar acar juga? Saya dan suami, dong. Sebelumnya juga saya udah bagikan resep bikin acar Jerman dari kubis. Sauerkraut itu nggak pakai gula sama sekali, murni pakai air dan garam aja jadi brine, dan rasanya enak juga, banyak manfaat baiknya untuk saluran cerna karena mengandung probiotik.

Memang dasarnya kami penggemar acar jadi kalau bikin acar tuh suka banyak-banyak sekaligus buat stok satu bulan hahaha. Enggak, sih.. nggak sampai sebulan, paling cuma untuk dua minggu. Karena bikin banyak saya pun bisa bawakan untuk teman-teman di kantor yang kepingin makan acar buatan saya gara-gara lihat story WA saya lagi bikin acar 😪🤣 wakakak lain kali ngga usah posting story di WA lagi kalau bikin acar. Kalau acar wortel dan timun ini rasanya adalah acar nusantara yang umum kita jumpai di Indonesia. 😀🤤

Cerita tentang si nasi biru yang saya dan keluarga konsumsi sehari-hari udah tayang. Yeay! 🍛🌼💙

💚 Intan Rastini.

Srikaya (Custard Apple)

Siapa suka srikaya? saya suka, dong. Buah ini adalah buah kenangan bagi saya. Karena masa kecil saya suka manjat pohon kenanga yang ada di sebelah pohon srikaya di rumah mbah saya dulu di Surabaya.

Pekak dan mbah saya dulu sempat-sempatnya menanam macam-macam pohon buah dan bunga di lahan pekarangan depan rumah mereka yang tidak seberapa. Yang saya ingat ada pohon buah jambu, kamboja, kenangan – eh kenanga, dan srikaya. Pohon srikaya ini tumbuhnya berdekatan dengan pohon kenanga. Dan letaknya di sebelah bak tempat sampah permanen yang terbuat dari semenan. Dan dari situlah saya suka manjat pohon kenanga yang udah tumbuh kuat. Ada pijakan yang konkrit juga kan dari bak sampah semen. Kalau manjat suka nggak tanggung-tanggung, bisa langsung sekalian ke genteng trus tembus jalan di atas genteng sampai masuk ke loteng rumah hehehe 😆😄.

Kalau udah terdengar suara langkah kaki saya di genteng, biasanya mbah atau budhe saya akan ribut tuh, “Intan, jangan naik-naik genteng! Nanti genteng mbah bocor!!!” Waaaaaakakak 🤣😆. Tapi saya tetap aja bandel dan berulang-ulang manjat lagi-manjat lagi. Malah saya bisa dari arah sebaliknya. Naik tangga ke loteng, lalu dari loteng keluar dari jendela menuju ke atas genteng. Jalan sedikit di atas genteng yang agak landai, ntar turun ke bawah bisa ketemu deh sama cabang pohon kenanga. Nanti saya akan turun dari pohon kenanga ke bawah. Turun di atas bak sampah itu tepatnya.

Pohon kenanga yang benar-benar pohon kenangan. Bunganya harum, dan di sebelahnya ada pohon buah yang unik dan manis rasanya, yaitu pohon srikaya. Srikaya ini bentuknya unik sekali, kulitnya sepintas berbentuk seperti isinya yang kecil-kecil berupa mirip sisik (tapi nggak tajam kayak salak) atau mata berbentuk wajik-wajik kecil gitu. Buahnya sendiri ada berukuran sekepalan tangan saya. Warnanya hijau. Kalau sudah matang akan berwarna hijau tua kehitaman. Kalau pun dipetik masih muda, bisa diperam ke dalam tempat penyimpanan beras supaya akhirnya matang. Secara orang Indonesia gitu kan, pasti punya tempat penyimpanan beras. Kalau di rumah saya, nama tempat penyimpanannya dalam basa Bali disebut “gebeh“. Itu semacam wadah gerabah besar bertutup untuk menyimpan beras di dapur. Biasanya saya simpan alpukat atau juga mangga di sana biar matang. Tumben kali ini nyimpan si manis srikaya.

Di Bali sini saya udah lama nggak makan srikaya. Kalau di rumah mbah saya…., beh… setiap pohonnya panen, kami bebas mau makan semasih ada buahnya. Kalau di sini, ya ga tau beli atau dapetin di mana karena belum pernah ketemu. Kebetulan saya lihat story WA tetangga saya dari dusun sebelah yang memperlihatkan lungsuran bantennya ada yang merupakan buah srikaya, gerak cepat dong langsung chat… “Bu, saya boleh minta lungsurannya?”

Saat dijawab boleh, saya langsung meluncur jalan pagi sama Kavin ke dusun sebelah. Dikasi lah kami 3 buah srikaya yang masih belum ranum (beserta buah-buahan lainnya seperti pisang, rambutan, dan apel… 🥰😍😚 hahaha makasih banyak, ya bu). Sampai rumah saya peram di dalam gebeh penyimpanan beras. Setelah dua atau tiga hari, buah srikaya udah pada ranum, yang akhirnya ngeluarin buahnya dari gebeh adalah papa. Papa bilang saking matangnya buah srikaya tersebut sampai merekah, terbelah sendiri sehingga daging buah isinya kelihatan. Udah empuk banget buahnya. Rasanya gimana? Manis, enak, lembut. Bijinya banyak, jadi macam makan buah sirsak tapi versi kecil dan versi manis. Sirsak kan berserat banget daging buahnya dan rasanya masam, kalau srikaya lebih enakan, lebih masir gitu dan gampang ngelepas biji dari daging buahnya. Ah, pokoknya seru makan buah ini. Sedikiiiiit banget mirip markisa si passion fruit gitu lho, model daging buah dan bijinya tapi nggak masam aja.

Kamu udah pernah coba belum? Nama lainnya banyak juga ya ini srikaya. Nama latin secara binomial nomenklatur adalah Annona squamosa. Sebutan lain dalam bahasa Inggris ada custard-apple, sugar-apple, sweetsop (iya kalau sirsak si masam, namnya soursop hihihi). Ini ada foto kenang-kenangan saya dan Kavin jalan-jalan pagi menjemput buah srikaya, eh malah ketemu pohon srikaya. Jadi selama ini tuh sebenernya sudah ada pohon buah srikaya di sini, toh! Alamak.

🧡💛🤎Intan, pecinta buah lokal.

Lovely Fireflies – Kunang-kunang Cantik

Tiga hari lalu bapak mertua saya meminta tolong saya untuk dibelikan canang sari. Lalu saat sudah sore saya asyik menulis blog tentang apa itu makna keluarga inti bagi saya sehingga saya baru bisa keluar rumah pukul 7 WITA. Saat saya berjalan keluar untuk ke dusun sebelah, saya melihat langit indah sekali penuh warna gradasi senja. Ada semburat biru, ungu, violet – ungu sama violet bedanya di mana, sih? – dan juga jingga atau lembayung. Makanya ya, namanya langit Bali dilukiskan oleh mbok penyanyi Saras Dewi sebagai Lembayung Bali, :D.

Saat sedang berjalan kaki menuju ke Dusun Munduk untuk membeli canang sari, saya asyik melihat langit yang ternyata belum gelap banget, masih cantik sedikit terang. Saya melewati rumah tetangga saya 2 blok ke arah barat. Lalu ibu tetangga yang sedang berdiri di atas jalan pemesuannya ngeliatin saya terus yang sedang berjalan kaki. Karena kami sama-sama pakai masker penutup hidung dan mulut, maka saya sapa saja, “ngujang, tuh mek?” (ngapain tuh, bu?).

Sontak, ibu tetangga yang dari tadi berdiri ngeliatin saya aja berseru, “eh!” Seraya tersadar kalau ternyata itu saya, Intan, tetangga di sebelah paling timur. Lalu si ibu balik bertanya, dengang bahasa Bali tentu, “mau kemana itu? Kok berjalan kaki?”

Saya jawab, “Ne, kal meli canang di banjar Munduk.” (nih, mau beli canang di banjar Munduk)

Ibu tetangga, “Nggak naik motor, tuh? Udah sore kok jalan kaki?”

Saya timpali, “Sing, sing kengken… Kaaan pe’ek.” (Nggak, nggak apa… kan dekat).

“Ibu tetangga jadi makin heran, “Wih, jani be sanje, peteng nyin ditu, bani mejalan liwat lebah peteng-peteng keto?” [Wah, sekarang udah sore, gelap nanti di situ (jalan yang akan saya lalui), berani lewat turunan (lebah) gelap-gelap gitu?].

“Bani.” Seperti yang sudah saya bilang “sing kengken” (tidak apa-apa), “kan pe’ek” (kan dekat) itu saja alasan saya.

Saya itu menjawabnya sambil terus berjalan saja, sambil lalu gitu. Emang bukan sengaja berhenti untuk menjawab ibu tetangga saya itu. Kan tujuan saya adalah mau beli canang, bukan untuk cangkruk gitu hahaha. Setelah saya berlalu ke arah lebah, semacam jalan turunan yang paling rendah yang kanan-kirinya itu tegalan (kebun cokelat, kelapa, manggis, dan duren milik warga dan ada yang milik bapak mertua juga)… saya sayup-sayup mendengar ibu tetangga yang saya sapa tadi mengobrol dengan tetangga saya lainnya di seberang rumahnya.

Ngomongnya keras-keras, gitu, kawan… Ngasi tau tentang saya. Jadi ceritanya saya diomongin nih, antar tetangga bahwa saya berani jalan ke dusun sebelah lewat jalan di ‘lebah’ gelap-gelap begini padahal ini sudah menjelang malam. Suara tetangga saya itu kerraasss banget, deh! Sampai saya pun bisa mendengarnya dengan jelas, sampai saya tertawa kecil sendiri. Yah, memang gelap sih, tapi masih ada cahaya dikit dari matahari yang hampir terbenam ke peraduan. Jadi masih bisa kelihatan jalannya meski sama sekali nggak ada lampu.

Saat melewati ‘lebah’ yang memang kayak lembah jalan paling rendah, otomatis saya harus naik lagi, dong, jalan menanjak lageee… Welcome sandal selop karet plastik tak nyaman yang udah bikin kaki saya akhirnya lecet wakakaka.. Sesampainya di toko warga yang menjual canang, saya bertanya, “bu ado, canang? Meli dasa tali.” (Bu ada canang, beli sepuluh ribu).

Setelah mendapatkan canang yang saya perlukan, ibu penjual dan kerabatnya berkata dalam bahasa Bali campur bahasa Indonesia ke saya, “Oh, nggak naik motor ke sini?”

Saya jawab, “Enggak.”

Ibu penjual bertanya lagi, “Jalan kaki tadi?”

Saya balas, “Iya.”

“Ish, ish, ish… atau ck, ck, ck….” begitulah kira-kira ibu penjual dan ibu kerabatnya yang ada di warung kalau bisa berkomentar kepada saya, entah mengomentari sebagai keprihatinan terhadap saya atau sebagai ungkapan keheranan. Cuma gara-gara nggak bawa motor aja, guys! Iya cuma karena jalan kaki ke warung di dusun sebelah, mengundang decak entah kasihan, heran, atau keprihatinan oleh orang-orang.

Bukannya kebalik, nggak, sih? Dulu kalian warga sini bukannya udah sering kemana-mana jalan kaki, bukannya malah naik motor? Giliran sekarang saya jalan kaki kenapa heran bu-ebu? Saya pun pulang, tapi sebelum pulang dari warung saya mampir ke tetangga lain yang masih di dusun itu. Saya papasan sama bapak BPD dan tegur sapa sebentar, lalu saya balik badan dan bertanya, “Pak! Rumah pak Dodi itu dimana?”

Setelah diberi tau, saya menuju ke sana yang jaraknya ada kira-kira 400 meter, lah dari warung ibu penjual canang. Saya ke rumah beliau untuk menanyakan apakah saya bisa memesan pupuk kandang. Setelah bertamu ke rumah Pak Dodi  ternyata ada istrinya yang menyambut saya. Saya pun menanyakan pupuk kandang, apa bisa saya pesan satu kampil (karung). Sayang, sungguh sayang karena musim hujan pupuk kandang pun belum siap. Jada saya bilang saya butuh satu kampil saja dan perlu untuk besok atau dua hari lagi.

Bu Dodi pun tak berani beri janji, karena jika tidak ada panas matahari, sulit untuk menyiapkan pupuk kandangnya. Maka saya tanya berapa biaya pupuk kandang satu kampil tersebut. Sebesar Rp 30.000 dan diantar langsung ke rumah. YA, saya pesan. Tapi sampai hari ini belum ada antaran pupuk kandang tersebut, sepertinya mereka benar-benar sulit menyiapkan pupuk kandang siap pakai di kala hujan. Apalagi kemarin menjelang Tahun Baru Cina pada hujan terus seharian.

Akhirnya saya pulang… Jeng jeng jeng… Langit di luar itu udah bener-bener petheng ndedhet, lur! Udah gelap buanget, deh. Apalagi namanya di desa penerangan itu minim sekali. Semasa saya melewati jalanan yang di antaranya ada rumah-rumah warga, it’s still okay. Tiba saatnya saya harus melewati jalan yang di antaranya hanya ada tegalan (perkebunan) saja. Oh, boy! Finally this way.

Jalanan ini udah mulai nggak ada rumah warganya, murni tegalan aja di kanan dan di kiri. Gimana gelapnya? Absolute darkness, friend! Benar-benar gelap gulita. Sekali, dua kali ada pengemudi sepeda motor yang lewat dari belakang saya. Saya sampai takut mereka terkejut dan saya dikira penampakan wanita halus, lagi wekekek. Tapi sepeda motor mereka memberi saya sedikit penerangan untuk jalan selebar 2meter yang saya sedang lalui (dan jalani dengan tabah).

Kegelapan ini lah yang membuat saya bisa lihat bulan atau bintang-bintan di langit. Tapi agak susah karena kanan dan kiri isinya pepohonan semua rada lebat. Tiba di lebah pun saya harus nyebrang sungai kecil yang mana saya takut kaki saya mengarah ke bahu jalan dan terperosok ke bantaran sungai hahaha lebay! Tapi emang seru, sih kalau dipikir-pikir saya nekat, ini udah kayak jurit malam di kala ikut kegiatan pramuka atau tantangan dari klub pecinta alam kali, ya!

Sampai pada saatnya saya harus berjalan nanjak kembali dan saya lihat semak-semak di sebelah kiri saya. Ada titik kuning terang banget! Itu titik kuning terlihat bercahaya sendiri dan terbang naik-turun dengan lembut, melayang di antara rimbun semak-semak di bahu jalan. Itu kunang-kunang! Ya ampun, saya sampai bahagia dan terharu sendiri bisa menemukan seekor kunang-kunang tersebut di semak-semak antara tepian kebun dan bahu jalan.

Sedih, senang, terharu karena pernah lihat sekelompok kunang-kunang banyak banget itu udah lama sekali saat saya masih kecil menginap di desa kampung halaman ayah saya di dusun Sekartaji. Sedih, lah guys memikirkan nostalgia di masa saya kanak-kanak menghabiskan waktu di desa asal saya bisa ketemu banyak kunang-kunang di malam hari dekat dapur rumah mbah saya. Saat itu saya sama mama, ayah dan adik laki-laki saya sama-sama menyaksikan kunang-kunang terbang segambreng di natah (pekarangan) di depan dapur.

Sorry fireflies, your habitat has been diminished by humans. After that I got home safely, and I told my husband about what I’ve seen. “you can’t belive this! I saw a firefly when I was walking to our neighbourhood village!”

Saya ingat pernah juga, kok, kedatangan tamu seekor kunang-kunang masuk ke kamar tidur kami. Saya, Kalki, Kavin, dan suami sampai terpesona dibuatnya. melihat kunang-kunang itu hidup, mahkluk hidup berpendar dan cantik sekali kemilau cahaya dari badannya. Ada yang bilang kunang-kunang itu dari kukunya orang yang sudah mati. Haduuuuh apaan, sih…!? Hihihi… Kunang-kunang itu hewan, mahkluk hidup seperti nyamuk, lalat, kelelawar, anjing, kucing. Dan dia sangat cantik.

Kalau kita jarang menemukan atau menjumpai hewan tersebut, biasanya kita akan terkejut dan kemunculannya dikonotasikan sebagai sesuatu yang mistis dan tak biasa. Yhaaaa iya lah, orang mereka hewan nokturnal. Coba aja cari musang dan kelelawar di saat hari terang. Nggak kelihatan dan jarang ketemu kan? Orang mereka tipe hewan malam yang keluarnya saat hari gelap.

I’ve seen magnificent creatures like dragonflies, ladybugs, bees, butterflies, birds, mantis, cobra, phyton, fireflies, bats, civet (musang atau lubak/luwak keluarga Viverridae), squirell, mole (tikus tanah yang suka gali tanah keluarga Talpidae), monitor lizard (biawak keluarga Varanidae) live freely in this village area. Thus, I’m so grateful that I still live in the area full of vegetation and very natural resources/ecology.

Kalau kamu pernah ketemu hewan malam atau nokturnal, nggak? Jangan kaget ya kalau ketemu mereka, bisa berhati-hati saja. Mereka adalah bagian dari ekosistem, yang menjaga ekologi kita. Sebagai manusia sebaiknya kamu juga bijak berbagi ruang hidup dengan hewan-hewan tersebut. Selama ini saya ada keiinginan juga, nih. Buat bertemu berang-berang di habitat aslinya. ketemu otter. Duh, lucu banget mereka hewan yang rajin bikin bendungan dan menggemaskan.

Selain itu pengen ketemu sigung (skunk) dan rakun (raccoon) juga. Udah ah, sebelum banyak maunye hehehe… Ntar kepengen ketemu beruang grizzle, musang merah (fox), serigala, hyena, zebra, buaya, dll lagi… Ye, kalau di Kebun Binatang Surabaya (KBS), Taman Safari Prigen, dan di Bali Zoo, sih udah pernah. Di alam liar, habitat asli mereka kan wow amazing banget kayak di sabana Asia atau Afrika gitu. Mumpung tinggal di Asia tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati yang mana termasuk bervariasinya mahkluk hidup baik flora dan fauna.

♡ Love the amazing nature, Intan.